Bab 21

30 4 0
                                    

Dua minggu berlalu. Garin tak henti mengikuti kabar tentang korban pesawat yang masih dinyatakan hilang. Beberapa dari mereka berhasil ditemukan, tetapi dalam kondisi tidak bernyawa. Setiap satu orang tak bernyawa lagi diumumkan, Garin berdoa agar itu bukan salah satu dari Avis atau Dalmar.

Dia menjadi gadis pemurung sejak kembali dari bandara dua minggu kemarin. Jadi sering mengurung diri di kamar, tak mau makan, tak mau keluar rumah, tak mau berangkat kuliah. Dia menangis hampir tiap malam, membaca ulang kumpulan chat-nya dengan Avis, mendengarkan lagu-lagu gubahan laki-laki itu dengan hati pilu. Dia juga masih sering menelepon nomor Avis, berharap ada keajaiban yang membuat panggilannya tersambung dan dijawab oleh sang pemilik ponsel, yang entah ada di mana saat ini.

Pagi ini, entah sudah yang ke berapa kali Garin menolak ajakan Tabitha untuk bertemu. Dua minggu dia meninggalkan kuliah. Dua minggu tak keluar rumah, bahkan keluar kamar hanya untuk mandi dan makan, dengan paksaan Barra. Berulang kali Tabitha berusaha mengunjunginya, tetapi Garin tak ingin menemui siapa pun.

Barra mengetuk pintu kamarnya hari ini, dan seperti kemarin, Garin diam saja, tak menjawab atau membukakan.

“Dek?” panggil Barra. Tetap tak ada jawaban. “Aku masuk, ya?”

Pemuda itu membuka pintu kamar setelah satu menit menunggu jawaban dari adiknya. Dilihatnya, gadis itu sedang menelungkupkan diri dan membenamkan wajah pada tumpukan bantal. Barra menghampiri, duduk di ujung tempat tidur si Bungsu yang masih terlihay tak acuh.

“Bitha tadi ke sini,” kata Barra.

“Suruh pulang aja,” jawab Garin. Suaranya teredam karena wajahnya tertutup bantal.

“Udah pulang barusan.” Barra menepuk-nepuk punggung Garin pelan. “Makan, yuk? Kamu belum makan dari semalam.”

“Nanti aja. Aku kenyang.”

“Rin, serius, deh! Kamu jangan begini!” Barra membalikkan tubuh adiknya dengan paksa, membuat si Adik menatap dengan kesal. “Berapa kali kamu nangis-nangis begini? Kamu enggak lihat diri sendiri di kaca? Matamu udah se-bengkak itu. Udah dua minggu, Rin. Kapan kamu mau ikhlas?”

“Maksudnya?” Garin tersentak, segera mendudukkan diri dan menatap kakaknya tajam. “Maksud Abang apa?”

“Avis itu udah enggak akan balik ke kamu.”

Refleks, Garin memukul badan Barra menggunakan guling, keras. Yang dipukul tak tampak marah, bahkan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda emosi. Dia kembali menatap adiknya, lanjut berkata, “Kamu enggak bisa lihat situasi, ya? Udah dua minggu, Rin. Dua minggu tanpa kabar. Bahkan, orang-orang yang udah ketemu semuanya mati. Terus, apa yang kamu harap dari mereka? Ketemu pun percuma, ‘kan?”

“Abang mending keluar. Jangan berisik di sini,” usir Garin. Namun, alih-alih pergi, Barra masih getol berucap.

“Ketemu atau enggak, kamu sama Avis enggak bisa kayak dulu. Avis itu udah mati.”

Diliputi dengan gemuruh emosi, Garin menampar Barra. Dan seperti beberapa saat lalu, sulung itu menerima begitu saja, tak marah atau pun membentak. Memang sudah menjadi tujuan awalnya kemari, membuat Garin melampiaskan segala emosi. Dia ingin adiknya kembali membaik, tak terkurung oleh perasaan yang dua minggu ini disimpannya sendiri.

Napas Garin menjadi tak beraturan. Dia merasa marah, tetapi entah pada siapa. Kemarahannya ditujukan pada banyak hal. Pada Barra, pada dirinya sendiri yang sudah menampar kakaknya, pada Avis yang untuk pertama kalinya mengingkari janji. Dan pada keadaan, yang entah kenapa benar-benar berhasil menjatuhkannya ketika sedang ada di ketinggian.

“Mau pukul aku lagi?” tanya Barra halus. “Mau pukul, tampar, lempar kaca, lempar kursi, lempar apa pun, enggak apa-apa, Dek. Biar lega.”

Yang lebih muda pun menutup wajah dengan kedua tangan. Dia menangis. Dan kali ini, gadis itu menangis di hadapan kakaknya. Dua minggu kemarin dia berusaha menyembunyikan isam ketika sang Kakak ada di hadapannya. Kali ini, dia membutuhkan seseorang yang dapat menemani hingga air matanya mengering.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang