Bab 9

69 8 4
                                    

Bertatap muka dengan Barra bukan berarti membuat laki-laki itu dapat segera menyukai Avis dan mengizinkannya mendekati Garin. Barra sangat susah dijinakkan, masih belum ada perubahan. Apalagi, kesan pertama yang Avis buat bisa dikatakan sangat buruk; mengantar Garin pulang pukul sebelas malam, dengan kondisi basah kuyup.

Sebenarnya, perihal basah, Barra tak bisa menyalahkan Avis, karena memang rintik hujan-lah yang membuat adiknya lepek dari ujung rambut hingga kaki. Namun, yang namanya Barra, tak mungkin menyalahkan sesuatu yang tak dapat diajaknya bicara seperti hujan. Terlebih, cecunguk satu itu mengembalikan adiknya semalam itu.

Kendati begitu, segalak apa pun Barra, tak membuat Jacquavis mundur dengan gampang. Dia dan Garin tetap saja dekat. Bahkan kini, pertemanan mereka sudah berjalan lima bulan. Hanya pertemanan, tanpa ada embel-embel apa pun seperti yang dikhawatirkan oleh kakak Garin itu.

Selama lima bulan ini, sudah berkali-kali Garin bertamu ke rumah Avis, bertemu kedua orang tuanya-yang sama sekali tak setuju jika putra mereka tetap bertahan dengan band kesayangan. Berkali-kali Garin melindungi Avis dengan berkata dusta ketika cowok itu sedang mengikuti festival atau semacamnya. Salah satu tindakan setia kawan yang patut untuk diberi ucapan terima kasih bertubi-tubi.

Seperti sekarang. Garin kembali bertamu ke hunian Jacquavis.

"Avis ada, Tante? Garin mau ajak dia ke toko buku."

Tentu saja itu hanya alasan. Sebenarnya, hari ini Avis akan pergi ke studio, tetapi kedua orang tuanya tak mengizinkan keluar rumah. Lalu, dia meminta bantuan Garin, menyuruh gadis itu pergi ke tempatnya guna untuk mengarang alasan.

"Ada di kamar. Masuk aja, Sayang," kata Mama Avis, ramah. Garin bersumpah, Mama Avis tak segarang yang diceritakan anaknya.

"Tapi, Garin boleh ajak Avis ke toko buku, 'kan, Tante? Takutnya Avis lagi sibuk," kata Garin, mencoba bersikap manis di depan ibu sahabatnya itu.

"Boleh banget, Rin. Justru Tante senang, Avis berteman sama kamu. Kamu suka ajak Avis ke toko buku, ke perpustakaan, biar anak itu makin cerdas. Enggak buang-buang waktunya sama hal-hal enggak penting. Kamu masuk, sana! Anaknya lagi ngambek soalnya enggak dikasih izin main sama Papanya."

Garin tertawa, respons yang tampaknya memang tepat ditunjukkan saat ini. "Garin ke kamar Avis, ya, Tante. Permisi."

Dan di sana lah gadis itu berada sekarang, sedang bersama Avis-yang masih belum bersiap-siap untuk latihan hari ini, duduk di kasur sembari menanti yang ditunggu-tunggu untuk menyelamatkan sisa harinya.

"Belum siap-siap? Malah bengong, ih!" gerutu Garin, sedikit geram melihat tingkah kawannya yang tak melakukan apa pun.

"Gue enggak usah ganti baju, deh. Daripada Mama curiga. Lagi pula, begini pun gue kelihatan keren," kata cowok itu, memuji diri sendiri seperti selalu.

"Justru kalau pakai baju itu, nyokap lo makin curiga. Gue pamitnya mau ajak lo ke toko buku. Masa ke toko buku lo pakai singlet begini. Jangan aneh, ah! Ganti baju, sana!" perintah Garin, sudah semacam mama muda yang sedang mengurusi putra semata wayang yang terbiasa bebal.

"Terus, gue harus pakai kemeja? Enggak keren, Rin. Ini practice-nya mau direkam, mau dikirim ke festival yang di Singapura itu," rajuk si tuan rumah, tetap dengan lagak lelaki linglung karena bingung.

"Enggak harus pakai kemeja, Vis. Kaos, kek. Sweater, kek." Termakan kesal, akhirnya Garin melangkah tanpa disuruh, menuju lemari baju berwarna putih yang masih tertutup rapat. Gadis itu menyempatkan menoleh ke belakang, melontarkan kalimat, "Gue boleh buka lemari lo?"

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang