Bab 20

43 6 1
                                    

Dan ternyata, itu memang pesawat yang ditumpangi Avis dan ketiga temannya. Setelah melihat berita di televisi hingga selesai; salah satunya pembacaan nama-nama penumpang di dalamnya, Garin mematung, tak dapat berbuat atau berkata apa pun. Napasnya tak beraturan. Seluruh badannya gemetar hebat.

“Aku ambil minum sebentar.”

Barra dengan susah payah berjalan menuruni tangga dengan kakinya yang terbalut perban, hanya bertumpu pada tangan tangga dan tembok. Garin dalam kondisi normal akan melarangnya, mengeluarkan ocehan khas yang membuat kakaknya tetap duduk di tempat. Namun, saat ini, kondisinya benar-benar jauh dari kata normal, membuatnya tak melakukan apa pun untuk mencegah Barra. Dia hanya duduk diam di sofa dengan pandangan kosong.

Sepuluh menit berikutnya, Barra telah kembali duduk di samping sang Adik, dengan membawa es teh yang biasanya mampu mendinginkan suasana hati.

“Minum dulu.”

Pemuda itu menyodorkan gelas. Garin menerima, tetapi tak meminum isinya. Gadis itu tetap sama, diam dengan raut yang tak dapat terbaca. Campuran antara bingung, kalut, panik, sedih, takut, dan entah apa lagi, membuatnya tampak seperti seorang perempuan linglung saat ini.

“Rin, listen to me,” kata Barra, membuat yang dipanggil kini menatap dengan tatapan yang masih serupa. “Jangan negative thinking dulu. Buang semua pikiran buruk dari otak kamu sekarang.”

Garin tetap diam, mencoba mencerna ucapan Barra. Hingga, beberapa detik setelahnya, dia mengangguk. “Iya. Avis pasti lagi kasih surprise, ya, Bang. Ini pasti cuma rencananya dia. Dia memang suka iseng, sih.”

Gadis itu tertawa, tetapi tawanya mengandung kebahagiaan atau pun hal positif lainnya. Hanya tawa getir, yang tampak seperti ... aduh, bagaimana menjelaskannya, ya?

“Maksudnya bukan begitu, Rin...”

“Dia cuma usil, Bang. Aku tahu. Sebentar aku telepon.”

Dan itulah yang dilakukan Garin; mengambil ponsel di sampingnya, mencari kontak Avis, kemudian melakukan panggilan suara. Nomor yang dituju tetap tidak aktif.

“Kenapa masih enggak aktif, sih!”

Dia mematikan sambungan teleponnya, lalu beralih menelepon Dalmar; sama saja. Dia tak menyerah, kali ini menelepon Jovan dan Davi. Tetap tak ada yang berbeda.

“Kenapa enggak aktif semua!” Garin mengalihkan pandang dari layar ponsel pada Barra. Kali ini matanya berkaca-kaca, tetapi dia tetap ingin berpegang pada pemikiran positifnya. “Mereka sekongkol, ya, Bang? Mau bikin kejutan bareng-bareng, ‘kan?”

Yang ditanya kini memutuskan untuk diam, menatap sang Adik, yang sudah tampak seperti seorang gadis yang sedang mengalami kekagetan mental yang tinggi. Anak itu tertawa lagi untuk beberapa detik, hingga kemudian dia mulai menangis. Tawanya berubah menjadi isak yang memilukan hati. Barra (yang sudah memperkirakan hal ini akan terjadi) segera merapatkan duduk dan memeluknya.

“Avis, ‘kan, janji pulang, Bang,” katanya, di sela tangis. “Dia janji pulang, dan dia pasti pulang. Iya, ‘kan, Bang?” Garin melepaskan diri dari pelukan Barra, menatap sang Kakak dengan matanya yang basah. Ekspresi wajahnya menampakkan raut penuh harap. “Dia pasti pulang, ‘kan? Aku udah masak buat dia, dia enggak akan ingkar. Avis enggak pernah ingkar janji. Sebentar lagi dia ke sini. Iya, ‘kan, Bang?”

Barra diam saja, menatap adiknya dengan tatapan simpati. Garin kembali menangis. Dia benar-benar kacau. Sebagian otaknya mengatakan bahwa Avis tak akan muncul di rumahnya, tetapi sebagian lagi masih memegang harapan akan kepalsuan berita itu. Terlebih, saat ini hatinya meronta. Rasanya lebih menyakitkan dibandingkan dengan berpisah karena sudah tak lagi ingin bersama.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang