007 - Pusara

41 8 1
                                    

Sepeninggal Ellisa, kini Arka dan Ajun terdiam dengan saling melayangkan tatapan tajam.

"Jangan coba berani deketin cewek gue." peringat Arka dengan suaranya yang berat.

Ajun tersenyum miring merespon, "Gak ada yang mau deketin cewek lo, tapi kalo lo berani main tangan sama dia, lo berurusan sama gue." Ajun menegaskan dengan penuh keberanian.

Arka berdecih, "Pahlawan kesiangan." Gumamnya dengan senyuman remeh, setelah itu berlalu meninggalkan Ajun di sana.

Ajun menghela napas samar begitu Arka hilang dari pandangannya, ia pandangi buku yasin yang masih ia pegang sedari tadi, "Yaudah gue sendiri aja deh, nanti atur waktu lagi buat ngajak Ellisa ke sini." Batinnya sambil berjalan memasuki area makam seorang diri.

Ajun menghela napas dengan sangat amat berat begitu sampai di depan pusara Gisa, ada sesuatu yang seperti menggores jiwanya lagi sehingga Ajun merasa begitu sesak membaca nama itu di sana.

Sudah lebih dari 3 tahun semenjak Gisa meninggalkan dirinya dengan menitipkan malaikat kecil yang akhirnya ia beri nama Nara Alkila, dan Ajun belum bisa memaafkan dosanya yang satu itu sampai detik ini.

Ajun berjongkok dengan perasaan yang semakin berkecamuk, ia usap nisan itu dengan lembut penuh kehati-hatian, "Sa, tadi aku sama sahabat kamu, tapi ada masalah sedikit, jadi dia pulang deh."

Sunyi, senyap, nisan yang mengubur satu raga di bawah sana sama sekali tak memberikan tanggapan apa-apa atas cerita Ajun.

"Maaf baru ke sini, aku sibuk banget sama skripsian, bahkan ngurus anak kita aja hampir enggak sempet." Ajun terus bercerita meski tidak ada tanggapan yang akan ia terima.

"Nara udah besar, Sa, sekarang, dia udah pinter, cantik, persis kamu." Lirihnya sambil mencabut rumput liar yang tumbuh di atas pusara Gisa.

Ajun tersenyum tipis bersama pedih, ia pandangi nama Gisa di nisan itu dengan sorot mata yang terluka, "Beberapa hari yang lalu, sahabat kamu bacain dongeng tidur buat Nara, aku jadi ngebayangin, gimana kalo misalnya itu kamu yang lakuin?"

Sekali lagi nisan tak bernyawa tersebut tak menghiraukan Ajun, ia seolah acuh tak acuh akan cerita Ajun.

Tanpa sadar Ajun mulai menitihkan air matanya tanpa suara, ia kembali memandangi nama Gisa, binti dari Gisa, tanggal lahir dan tanggal wafatnya.

Satu kata yang sangat bisa mendeskripsikan perasaan Ajun ketika melihatnya, sakit, bahkan lebih dari sakit.

Ajun menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah akibat menangis, "Aku sebrengsek itu ya, Sa? Sampai-sampai kamu milih pergi dan biarin aku ngurus anak kita sendirian?" lirihnya.

Ajun atur napasnya sejenak sambil memberanikan diri untuk kembali mengangkat pandangannya menatap nisan Gisa.

Setelah itu Ajun memutuskan untuk mulai membacakan yasin dan do'a untuk dikirimkan kepada Gisa di alamnya sana.

Karena hari juga sudah semakin sore, dan Ajun masih memiliki serangkaian tugas dan kewajibannya sebagai seorang ayah bagi Nara.

Begitu selesai mengirimkan do'a-do'a untuk Gisa, Ajun tersenyum tipis memandangi nisan tersebut dengan sangat dalam, seolah memandangi wajah Gisa dengan penuh kerinduan, seolah menyampaikan rindu yang tak pernah tertuntaskan.

Sekali lagi ia usap nisan Gisa untuk terakhir kalinya dipertemuan kali ini, "Aku pulang, Sa, sesekali mampir ke mimpi aku, ya? Aku kangen sama kamu." ucapnya.

Setelah itu Ajun benar-benar beranjak pergi dari sana.

--

Sementara itu di lain tempat, Ellisa sedang mendumal seorang diri di kamarnya, memandangi boneka kecil berwarna pink yang ia bawa dari Bandung, boneka tersebut pemberian Arka.

Renjana Kasih Ft. Junkyu TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang