015 - Lelah

40 7 0
                                    

Sudah lima jam sejak Ibu Lina pulang, dan di sini, di kamarnya Ellisa terdiam tak melakukan apa-apa, tapi otaknya terus saja berpikir dengan begitu berisik dan ia sangat jengkel dengan perasaan itu, di mana sekarang ia yang harusnya sudah tidur, tapi malah terjebak dalam ramainya isi kepalanya itu yang entah kapan akan berhenti berkicau layaknya burung.

Kembali, kalimat demi kalimat yang Ibu Lina ucapkan padanya tadi berputar ulang dalam kepalanya, kemudian Ellisa menghela napas, "Bener kok, Nara masih butuh Ajun, tapi apa gue enggak boleh kecewa? Gue enggak boleh ngeluarin apa yang gue rasain?"

Hanya detak jarum jam yang menjadi satu-satunya suara yang begitu berisik di telinga Ellisa, hingga akhirnya perempuan itu beranjak dari kasur nya menuju balkon.

Sama seperti tadi, bulan purnama masih bersinar dengan begitu indah bersama ribuan bintang yang menambah keindahannya.

"Kenapa keadaannya jadi gini, ya?" ia bertanya lirih pada lembutnya angin malam membelai kulitnya.

Sepi, tidak ada yang bersua, dan tidak ada yang peduli.

Kembali Ellisa membuka HP nya, melihat arsip instastory nya yang berisikan kenangan kebersamaan dengan Gisa.

Seketika airmatanya jatuh membersamai rasa kecewanya, rasa kegagalannya menjadi sahabat bagi Gisa. Sekarang ia bertanya-tanya, dimanakah janji untuk saling menjaga dan saling peduli yang mereka berdua ikrarkan dahulu? Ikrar telah Ellisa ingkar, ia tidak bisa menjaga sahabatnya.

Begitu ia menemukan foto dirinya dan Gisa sedang berada di mushola sekolah, bukan untuk sholat, tapi hanya untuk ngadem setelah stress ulangan harian Fisika. Ellisa tersenyum, senyum yang menyiratkan bagaimana rasa sakit di hatinya ketika melihat kenangan itu abadi dalam ingatannya.

"Sa, gue punya banyak temen di Bandung, kadang dari cara mereka ngomong yang selalu pakai kata aku-kamu bikin gue ingat sama lo, tapi tetap aja, mereka bukan lo." bisik Ellisa sambil menatap foto Gisa dengan hati yang tercabik-cabik.

"Gue marah sama dia, gue marah sama cowok yang lo pilih waktu itu, dia sama sekali enggak jaga lo, tapi dia mengambil masa depan lo dan mengubur mimpi lo. Dia jahat, Sa...."

Lagi, kalimat itu membias di udara, melambung tinggi ke langit dan hilang ditelan kesunyian.

Berbagai macam pengakuan bentuk rasa syukur Gisa ketika dipertemukan dengan Ajun, hari ini menjadi kalimat yang paling ia benci, namun kalimat-kalimat yang sudah terucap empat tahun lalu itu, hari ini kembali dengan setia mengusik pikiran Ellisa, membuat Ellisa semakin sesak, seolah ada sesuatu yang sangat besar menekan dadanya sehingga ia kesulitan untuk bernapas.

"El! Kamu tahu, nggak? Tadi pagi, dia jemput aku, terus antar aku, katanya sekalian bareng sih." suara riang Gisa hari itu kembali menyeruak dalam pendengarannya.

"Ya, kan pacaran? Emang gitu, kali." Ellisa seolah mampu melihat dirinya dan Gisa sedang mengobrol dalam ruang bernama masa lalu, dan ia duduk di sini, menyaksikannya dari tempat yang disebut sebagai masa depan.

"Ya beda! Ini pertama kalinya buat aku, jadi waw banget rasanya!" sahut Gisa yang langsung mengundang kekehan dari Ellisa.

Sejenak perempuan itu menekan dadanya yang terasa sesak dengan maksud menghalau rasa itu, namun hal itu justru menambah rasa sakitnya.

Diam-diam Ellisa terisak pelan dengan kepala tertunduk dalam, meredam rasa sesaknya sendirian, berteman dinginnya angin malam yang dengan setia merangkul dirinya dan seolah berbisik, "Nikmatilah rasa sakit ini."

"Sa, sakit...." ucapnya parau.

Namun hanya kesunyian yang merangkul tubuh ringkih Ellisa. Bahkan indahnya langit malam ini seolah mengejek Ellisa yang tengah didera nestapa.

Renjana Kasih Ft. Junkyu TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang