024 - Isi Buku Itu Adalah Luka

32 6 0
                                    

Waktu terus berjalan, setelah sekian waktu Ajun memutuskan untuk menunda membaca buku diary milik Gisa, hari ini ia duduk lagi di depan mejanya, mengambil banyak waktu untuk berdiam diri bersama kesunyian ruangan ini.

Matahari sudah tinggi, dan ia tidak memiliki kegiatan apa-apa di hari minggu seperti ini, Ibu dan Nara juga sedang pergi ke pasar, naik becak tadi, Nara yang merengek hendak naik becak, padahal Ajun hendak mengantar dua perempuan itu ke pasar, alhasil dia sendirian sekarang di rumah.

Setelah beberapa waktu ia terdiam memandangi buku milik Gisa dalam kebisuan, akhirnya Ajun mulai memberanikan diri untuk meraih buku itu, berniat hendak membaca beberapa halaman terakhir yang belum mampu ia baca sebelumnya.

Ajun buka buku itu tepat pada halaman dengan tanggal 22 agustus 2020.

22 Agustus 2020, usia kehamilan enam bulan. Aku banyak ngalamin keluhan enam bulan ini. Tapi hari ini entah kenapa aku punya ketakutan. Ketakutan yang enggak aku paham sama sekali. Tapi setiap bercermin, melihat perut aku makin besar, aku ketakutan, kayak ada sesuatu yang akan segera berakhir, kayak ada sesuatu yang akan selesai.

Tadi, Kak Ajun ke sini, ngantar biskuit sama susu ibu hamil, entah kenapa aku merasa bersalah. Dia mikirnya ini anak aku sama dia, sedangkan aku sendiri gak tau sebenarnya ini anak aku sama siapa? Sama dia, atau sama preman yang perkosa aku waktu itu?

Sampai hari ini aku gak berani ngasih tau dia, kalau ternyata aku udah pernah ngelakuin itu sama orang lain, meskipun aku juga gak mau buat lakuin itu, tapi menurutku Kak Ajun harus tahu, tapi aku gak berani ngomong, aku takut dia ninggalin aku.

Nanti, kalau anak ini lahir, aku bakal lakuin tes DNA sama Kak Ajun, buat pastiin aja sih, dan kalo ternyata bener anak ini bukan anak aku sama dia, aku bakal cari orang itu lagi, sampai ujung dunia sekalipun, aku harus ketemu mereka berdua.

Kalo ternyata ini bukan anak Kak Ajun, semoga aku siap kalo dia milih buat pergi ninggalin aku, aku yakin dia pasti kecewa banget kalau tahu ini nanti.

Mata Ajun memanas begitu ia membaca kalimat demi kalimat yang Gisa tuliskan di sana, disaat ia membacanya,  Ajun seolah dapat merasakan bagaimana kekhawatiran yang tengah melanda Gisa waktu itu.

Dengan melihat beberapa bagian kertas mengerucut bekas basah dan tulisannya yang meluntur, Ajun menyimpulkan bahwa Gisa menangis, hampir seluruh halaman dari buku diary ini memiliki bagian yang mengerucut, menjelaskan bahwa Gisa selalu menangis ketika mengadu pada buku ini.

"Aku baru tahu kekhawatiran kamu setelah baca ini, Sa, kenapa kamu setertutup ini sih sama orang-orang di sekitar kamu? Kenapa gak mau berbagi sama aku, Sa?" monolognya sambil menatap lembaran buku itu dengan tatapan nanar, seolah dapat melihat raga Gisa yang amat lapuk lewat tulisan tangan perempuan itu.

Di sini Gisa yang ketakutan ditinggalkan, tapi kenyataannya justru ia yang meninggalkan tanpa pernah memberitahukan apa-apa, seandainya Gisa tidak mengeluh di buku ini, mungkin sampai kapanpun Ajun tidak akan pernah tahu apa-apa.

Dan ketika Ajun mengetahuinya, laki-laki itu hanya bisa terisak sambil membekap mulutnya sendiri, untuk cintanya, Ajun sangat terluka ketika ia baru mengetahui satu persatu jalan hidup Gisa yang begitu rumit dan sangat berat untuk dilalui sendirian.

Hingga pada kalimat terakhir yang Gisa tuliskan, Ajun mengusap air matanya, membaca bagian itu sekali lagi untuk lebih memahaminya.

"Apa gue perlu tes DNA sama Nara?" ia bertanya pada dirinya sendiri, kemudian terdiam untuk memikirkan jawabannya.

Laki-laki itu kemudian menghela napas dengan samar sambil menatap tulisan tangan Gisa, setelahnya Ajun memilih untuk membuka halaman berikutnya, karena ia masih perlu membaca bagian lainnya, meskipun setelah ini Ajun harus menangis lagi, tidak akan masalah, agar setelah ini ia bisa baik-baik saja, agar setelah ini ia bisa sepenuhnya melepaskan rasa sakit itu, semoga.

Pada halaman berikutnya, ia menemukan tulisan yang singkat, mungkin Gisa sudah terlalu kelelahan hari itu.

10 September 2020, jam 23.50, udah malam, harusnya aku udah tidur, ngantuk juga sih sebenarnya, tapi ini aku pengen curhat, tadi aku lihat mereka berdua di warung nasi goreng seberang tempat aku kerja, pas aku ke sana, mereka kayak gak kenal sama aku dan di situ aku benci setengah mati sama mereka, muka tanpa dosa sama sekali, aku pengen mereka hancur, aku gak pernah terima sama sekali atas keadaan aku sekarang.

Mata Ajun memanas lagi, tapi kali ini ia masih mampu menahan untuk tidak terisak, namun tetap saja, rasa sakit itu benar-benar menggerogoti jiwanya nyaris tak bersisa.

Membayangkan bagaimana hancurnya Gisa hari itu, bertemu dengan orang yang telah mengambil kehormatannya, dan pelakunya malah bersikap tidak mengenal dirinya sama sekali, pasti Gisa sangat hancur hari itu.

Diam-diam Ajun terisak lagi, kali ini ia membiarkan suaranya mengudara, memenuhi kamar dengan pilunya, berharap ruangan ini mampu menenangkan hatinya yang lara.

Ajun ingat hari itu, disaat Gisa menelponnya malam-malam hendak bercerita katanya, tapi dia sedang sibuk malam itu, mempersiapkan untuk acara kampus keesokan harinya dan ia tak memiliki waktu barang sebentar untuk mengobrol dengan perempuan itu.

Laki-laki itu menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya dan menangis sejadi-jadinya, penyesalan itu ternyata tidak benar-benar hilang, penyesalan itu tetap mengikuti langkahnya hingga hari ini, meskipun keadaannya sekarang sudah tak sama seperti dulu, tapi tetap saja penyesalannya datang dengan alasan yang lain.

Ibu yang baru datang, begitu ia mendengar suara tangis dari kamar Ajun, ia langsung masuk dengan langkah tergesa-gesa setelah meletakkan belanjaannya di dapur dan meninggalkan Nara di ruang tengah.

Dan sesampainya ia di kamar itu, ia menemukan Ajun terisak dengan hebat, bahunya bergerak naik dan turun tak beraturan.

"Jun, kenapa, nak?" tanya nya sambil memegang pundak Ajun, mengusapnya dengan tulus kemudian setelah Ajun mengangkat pandangannya, Ibu Lina langsung membawa anak laki-lakinya itu ke dalam pelukannya.

Untuk beberapa waktu, Ajun membiarkan dirinya terisak di sana, mengeluarkan segala kegundahannya, mengeluarkan segala bentuk rasa sakitnya dengan menangis, mengeluarkan pengaduannya, menunjukkan pada Ibunya kalau ia sangat hancur. Ia seolah ingin mengatakan kepada semestanya kalau dirinya sudah tidak sanggup lagi dengan semuanya. 

Dan untuk beberapa waktu itu yang bisa Ibu Lina lakukan hanyalah mengusap punggung itu, memberikan ketegaran, dan dengan memeluknya, Ibu Lina menyiratkan kalau dirinya akan selalu ada untuk anaknya.

"Kenapa?" tanya Ibu dengan suara rendah setelah Ajun melepaskan pelukannya.

Dengan mata sembab, laki-laki itu menatap Ibu Lina, dan lewat tatapan itu ia menumpahkan segalanya walau tanpa kalimat, Ibu dapat memahami, Ajun sangat hancur.

"Gisa korban pemerkosaan, Bu, kalo ternyata Nara bukan anak aku, aku harus gimana?" baru hari ini Ajun berani memberitahukan hal itu kepada Ibu Lina.

Tentu saja Ibu Lina terkejut bukan main, matanya terbelalak sempurna, sama sekali tidak menyangka kalau itu yang akan Ajun katakan.

"Kamu tahu di mana kalau Gisa korban pemerkosaan?" tanya Ibu.

Ajun menoleh pada buku yang ia letakkan di atas meja, dan dengan itu Ibu Lina sudah mengetahui jawabannya tanpa Ajun mengucapkan kalimat pun.

Ibu dapat merasakan dadanya menjadi sesak, sakit rasanya ketika mengetahui hal itu, sama halnya dengan Ajun, dia sudah sangat menyayangi Nara sebagai cucu, darah daging dari anaknya, tapi kalau begini keadaannya ia sangat terpukul.




Bersambung

Renjana Kasih Ft. Junkyu TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang