18. Dissociate

1.6K 259 46
                                    

Jeno lupa ia tak membawa banyak barang ke apartemen Renjun, sekarang saat ia hendak pergi ke kantor ia tak ada pilihan lain selain pulang dulu ke rumahnya. Sebenarnya ia masih diberi waktu oleh papanya untuk tak pergi bekerja dulu, tapi berdiam diri di apartemen dengan Renjun saat ini terasa bukan pilihan utama. Menatap wajah cantik Renjun biasanya membawa senyum untuknya, tapi sekarang Jeno merasa bahwa itu mulai membawa kesedihan untuknya.

Sempat ada pikiran bahwa ia akan mulai menempati apartemen juga, untuk menghindari bertemu Renjun. Jeno juga sempat berpikir kalau ia perlu waktu untuk berpikir bagaimana ia harus menghadapi kesakitan yang ia rasakan saat ini. Tapi dipikir ulang, ia justru takut kalau ia menjauh dari Renjun, membiarkan Renjun memiliki banyak waktu sendiri justru membuat peluang Jaemin merebut Renjun semakin besar. Jadi, Jeno memilih untuk tetap dengan Renjun di apartemen submisif itu.

Sebenarnya sekarang Jeno merasa begitu bingung, ia sedang dalam emosi yang cukup kacau akibat perbuatan Renjun juga Jaemin. Rasanya ia tak bisa bersikap biasa saja pada Renjun, karena di sudut hatinya ia menyimpan kemarahan pada tunangannya itu.

Tapi disisi lain Jeno tak mau bersikap buruk pada Renjun, takut submisif itu berpikir Jeno akan melepasnya. Padahal Jeno tak kehilangan sedikitpun cintanya untuk Renjun.

"Aku akan menambah beberapa bajuku lagi disini." Ujar Jeno begitu melihat Renjun menyiapkan sarapan.

Renjun menatapnya kemudian mengangguk, wajah teduhnya membuat Jeno ingin menarik sebuah senyum tipis. Bukankah sangat wajar Jaemin pun tertarik ingin memiliki Renjun, disaat Renjun sosok menawan dengan wajah yang mempesona. Jeno yang sudah memiliki Renjun dan menjadikannya sebagai tunangannya saja selalu jatuh setiap harinya pada sosok cantik itu.

Dan wajar juga Jeno tak mau melepas Renjun, juga mengalah pada adiknya perkara cinta Huang Renjun. Renjun ini kesempurnaan yang Jeno inginkan.

"Iya, lemarinya juga masih cukup." Renjun menyahuti ucapan Jeno tadi.

"Kemana Jeno? Kau belum sarapan." Renjun bertanya saat Jeno tengah memasang jaketnya.

"Aku tidak sarapan hari ini, aku perlu ke rumah dulu untuk mengganti pakaian sebelum pergi ke kantor." Jawab Jeno.

Renjun bergumam bingung. "Kau mulai ke kantor? Aku baru tau."

Jeno memang tak berbicara pada Renjun soal ini, karena memang ini keputusan mendadak yang ia buat. "Iya aku mulai ke kantor lagi hari ini."

"Maka dari itu, sarapan dulu." Renjun berjalan menghampiri Jeno.

Lalu tangan itu meraih lengan Jeno, mencoba menariknya menuju meja makan kecil di dekat dapur itu. Tapi Jeno menahan lengannya, bentuk penolakan ajakan sarapan dari Renjun.

"Nikmati sarapanmu, aku harus pergi sekarang." Jeno membelai kepala Renjun dengan sayang, lalu meninggalkan kecup di dahinya.

"Aku membuatnya untuk kita nikmati berdua, bukan sendirian." Mata Renjun menyorot sendu padanya, tapi Jeno pun tak tau kenapa sekarang ia begitu tega padanya.

"Simpan saja, nanti pulang dari kantor aku akan memakannya." Setelah Jeno mengatakan itu, Renjun melepas cekalannya pada lengan Jeno.

"Maaf." Tanpa sadar Jeno mengucapkan itu saat melihat Renjun mengangguk lemah.

Renjun kembali meraih lengannya, kali ini untuk pegangan karena ia berjinjit untuk meraih bibirnya. Jeno dapat merasakan lumatan lembut itu, ia membalasnya. Dan begitu ciuman mereka terlepas, Jeno mendengar ucapan yang disuarakan oleh halusnya suara Renjun. "Semoga harimu baik-baik saja, Jeno."

"Cukup aku saja yang membuat suasana hatimu begitu buruk, semoga di luar nanti kau tak menemukan hal menyebalkan. Apapun itu." Setelah mengatakan itu, Renjun mengulas senyum lembut padanya.

Entah kenapa sekarang Jeno merasakan ngilu di hatinya mendengar harapan Renjun untuknya, ia merasakan kesedihan Renjun juga.

Mata Jeno mengikuti bagaimana sosok mungil itu kini berjalan menuju meja makan, dan duduk sendirian. Jeno pun memilih segera pergi dari sana sebelum hatinya semakin tak karuan, dan saat ia membuka pintu ia teringat sesuatu kemudian kembali berbalik untuk menemukan Renjun yang tengah mengunyah pelan sarapannya sambil melamun menatap lurus ke depan.

"Renjun..." Tadinya ia pikir suaranya tak bisa mengembalikan Renjun pada kesadarannya, tapi ternyata submisif itu langsung menoleh padanya.

"Iya, Jeno?" Ada sebuah senyum kecil yang Jeno lihat di bibir Renjun, entah karena alasan apa senyum samar itu Jeno tak tau.

"Jangan temui Jaemin, ya?" Pinta Jeno pada Renjun, yang dijawab anggukan pelan olehnya.

Keinginan Jeno untuk membuat Renjun dan Jaemin tak saling bertemu begitu besar, sampai-sampai saat ia mendapat pemberitahuan dari mamanya kalau nanti malam ada acara keluarga Jeno melarang Renjun ikut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Keinginan Jeno untuk membuat Renjun dan Jaemin tak saling bertemu begitu besar, sampai-sampai saat ia mendapat pemberitahuan dari mamanya kalau nanti malam ada acara keluarga Jeno melarang Renjun ikut. Padahal biasanya Jeno tak pernah absen membawa Renjun bahkan sejak mereka hanya sepasang kekasih.

"Iya, aku mungkin akan menginap saja di rumah kak Mark. Haechan bilang sudah lama tak bertemu denganku." Itu jawaban Renjun atas permintaan Jeno barusana.

Tadinya, Renjun sempat terdiam begitu Jeno mengatakan semuanya. Tapi tak lama setelahnya Renjun hanya mengangguk, dan menjawab seperti tadi.

Jeno mengangguk menyetujui apa yang Renjun sebutkan tadi. "Kalau ingin pulang dan ada apapun, hubungi aku."

Ponsel Renjun memang sudah Jeno kembalikan pada Renjun setelah menghilangkan seluruh jejak Jaemin disana. Sebagai salah satu usaha menjauhkan kemungkinan Renjun dan Jaemin terhubung lebih banyak.

Tapi ternyata bukan hanya Jeno yang berusaha, nyatanya Jaemin pun sama melakukan usaha. Adiknya itu duduk tepat di sampingnya setelah tadi kakeknya meminta mereka berkumpul.

"Aku tak bisa menghubungi Renjun." Ujar Jaemin dengan mata yang mengedar menatap sekeliling.

Jeno pilih tak menyahuti itu, tapi ucapan Jaemin setelahnya membuat Jeno gatal ingin mencekiknya.

"Aku hendak mengajaknya pergi kencan, aku bahkan sudah memesan bunga untuknya." Jaemin kini menatap Jeno yang mengeraskan rahangnya.

"Bisa kau sampaikan padanya kalau aku ingin bertemu?"

"Tidak akan ada pertemuan untuk kalian berdua." Jeno meraih kerah kemeja Jaemin, menariknya untuk kemudian menekan tengkuknya dengan keras sampai posisi Jaemin nyaris tersungkur.

"Renjun mungkin merindukanku—

Jeno tak bisa menahan diri lebih jauh lagi, ia berdiri untuk menendang punggung Jaemin dan setelahnya ia berlalu pergi meninggalkan sebagian anggota keluarganya yang panik melihat Jaemin tersungkur. Dapat Jeno dengar juga jeritan mamanya yang memanggil nama ia dan Jaemin bergantian, teguran keras untuk mereka berdua. Tapi Jeno mengabaikannya, sekarang ia hanya ingin segera pulang menemui Renjun. Memastikan submisif itu tak akan menemui Jaemin kapanpun itu.

Forgetting You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang