21. Warfare

1.5K 267 89
                                    

Pagi hari Jeno terbangun saat merasakan gerakan pada kasur yang disebabkan oleh Renjun yang baru beranjak dari kasur.

Semalaman, tak ada pelukan saat tidur. Keduanya tidur dengan pikiran masing-masing, dengan perasaan gusar yang berbeda.

Setelah mandi, dan memakai pakaiannya dengan rapih Renjun keluar dari kamar. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, saat mata mereka bertatapan pun tak ada senyum yang terulas. Mata mereka benar-benar hanya saling menatap tanpa makna.

Jeno beranjak juga dari kasurnya, ia merenung lama. Bertanya-tanya sebenarnya sekarang siapa yang melakukan kesalahan? Kenapa Jeno merasa kalau ini adalah kesalahannya? Padahal ia justru korban keserakahan Renjun, juga kebrengsekan Jaemin. Kenapa Renjun tak mau berbicara dengannya? Jeno tau kalau memang biasanya setelah perdebatan yang terjadi antara mereka, kecanggungan itu pasti ada. Tapi canggungnya sekarang terasa berbeda, Jeno diberi kesan seolah memang ia yang salah disini.

Itu karena tatapan Renjun yang ia sadari kian sendu.

Saat keluar kamar Jeno melihat Renjun yang berdiri di dekat pintu keluar, matanya menatap ponselnya.

"Renjun, kau marah padaku karena aku sering memukul Jaemin?" Jeno memutuskan bertanya.

Perhatian Renjun yang tadinya tertuju pada ponsel kini teralihkan pada Jeno, Jeno dapat melihat bahu Renjun yang jatuh lemas. Jeno juga menangkap sebuah tarikan napas berat dari Renjun. Apa pertanyaannya barusan begitu sulit untuk Renjun?

"Jeno, kenapa tidak berpikir alasan lain selain itu?" Renjun bertanya balik sambil menatap Jeno lekat.

"Apa aku terlihat hanya mengkhawatirkan soal itu?"

"Aku tau semenjak kejadian hari itu, hubungan kita mulai kacau seperti ini. Kau banyak menuduhku ini itu, kepercayaanmu padaku mulai hilang. Menatapku sekarang terasa begitu menyebalkan bukan? Setiap yang aku lakukan dan ucapkan pasti membawa sebuah kemarahan untukmu."

"Kau sebenarnya ingin memukulku sekeras bagaimana kau melakukannya pada Jaemin, kau juga mungkin ingin menendang wajahku seperti apa yang kau lakukan pada Jaemin. Tapi kau memilih melampiaskan semuanya pada Jaemin."

"Kalau sekarang aku minta kau melampiaskannya padaku bagaimana?"

Jeno sudah membuka mulut hendak menolak keras usul Renjun, tapi Renjun lebih dulu berbicara.

"Aku mengatakan ini bukan sebagai pembelaan atau perlindungan untuk Jaemin, aku mengajukan permintaan itu untuk hubungan darah kau dan Jaemin."

"Persaudaraan kalian jadi buruk karenaku, dan aku ingin hubungan kalian tak serusak itu kedepannya. Jadi, aku mohon padamu lampiaskan marahmu pada orang yang menjadi akar segala kekesalanmu."

"Kau, boleh memukulku."

Dan Jeno terdiam mendengar lirihan Renjun yang kini menunduk dan tak menatapnya, seolah sedang mempersiapkan diri untuk pukulan yang bisa kapan saja Jeno layangkan padanya.

Jeno melangkah maju pada Renjun, dapat ia lihat jemari lentik Renjun meremas ujung pakaiannya sendiri. Renjun benar berpikir ia akan memukulnya?

"Besok aku luang, kau bilang ingin menonton film. Aku akan pesankan tiketnya." Suara Jeno lembut membelai telinga Renjun, tangannya menarik tubuh Renjun dalam pelukannya.

Jeno mencoba mengerti maksud Renjun, tapi ia juga tak bisa menerima semuanya semudah itu. Karena kalau Jeno memilih tak menghajar Jaemin hanya karena alasan ia adalah kembarannya, lalu bagaimana dengan Jaemin yang juga begitu tak tau malu mengkhianatinya yang adalah saudaranya sendiri.

Renjun membalas pelukannya dengan erat, tapi Jeno sempat melihat Renjun yang mengusap matanya sendiri. Apa anak itu menangis?

"Benar besok kau luang?" Tanya Renjun dalam pelukannya.

Forgetting You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang