Kota S, 2019
Cahaya matahari sore yang lembut menyusup masuk di antara tirai-tirai tinggi tembus pandang berwarna putih. Melodi piano berdenting menemani suasana sore hari di salah satu kediaman di kota S. Seorang wanita muda duduk penuh khidmat memainkan setiap tuts piano dengan lincah. Semilir angin yang masuk melalui jendela membuat kertas di depannya terbang.
Kertas-kertas yang terbang tak dipedulikan. Bercecer memenuhi lantai juga karpet. Setiap not lagu yang dimainkannya sudah dihapal luar kepala.
Namun ketika lagu semakin intens, jari-jarinya sedikit sulit untuk digerakkan, hingga tak disangkanya ketika ia ingin menekan tuts terujung dengan jari kelingkingnya, ia gagal.
Bunyi decakan kesal bercampur kecewa terdengar. Suara itu juga menandai berakhirnya sesi permainan piano gadis itu.
"Jari-jarinya masih kaku ya ... padahal itu lagu favoritnya Ayut (nenek buyut)," ujar seorang wanita berkonde dengan rambut hampir memutih semua.
Gadis itu tersenyum simpul.
"Jenaka masih belajar, nek," jawabnya.
Jenaka, nama gadis itu. Seorang mahasiswa tahun kedua jurusan hukum. Kesibukannya sehari-hari hanyalah belajar, membaca buku dan les piano. Jenaka adalah anak yang ambisius. Ia tidak pernah mau kalah dan harus selalu menjadi nomor satu. Sehingga gadis itu cukup jarang bergaul dengan teman sebayanya.
Cita-citanya adalah menjadi pengacara seperti pamannya. Cita-cita ini muncul sejak ia kecil, ketika ayahnya seorang hakim di kejaksaan mengajaknya untuk menemaninya bekerja. Jenaka kecil duduk di salah satu kursi saksi, menyaksikan ayahnya seorang jaksa juga pamannya seorang pengacara yang tengah menyelesaikan sidang tuduhan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang wanita kepada suaminya.
Kekaguman Jenaka semakin besar pada dunia hukum ketika melihat kakak laki-lakinya juga mengikuti jejak keluarga mereka yang lain. Karena Jenaka memiliki sifat ambisius dan tidak mau kalah, Jenaka pun memutuskan bahwa dirinya juga akan menjadi seorang pengacara!
Sejak kecil Jenaka memiliki ketertarikan besar terhadap dunia hukum. Di saat teman-temannya yang lain sibuk dengan dunia fantasi remaja mereka yang selalu berkutat di kisah romansa, Jenaka sudah berada di tempatnya yang lain, menghapalkan pasal-pasal yang menarik perhatiannya dan akan mengajak diskusi kakak atau ayahnya. Itu lah alasannya ia mudah diterima di jurusan yang ia inginkan.
Jenaka yang tak Jenaka adalah nama panggilannya di keluarga besar. Ketika semua orang berkumpul di rumahnya, Jenaka akan memilih berkumpul bersama ayah juga pamannya dan bertanya kepada mereka jadwal sidang tertentu karena ia ingin melihat langsung proses persidangannya.
Hal itu membuat Jenaka menjadi anak yang spesial di mata orang tua. Meskipun nyatanya ia banyak tidak disukai oleh para sepupunya karena Jenaka adalah bentuk contoh perbandingan bagi mereka.
Jenaka tak hanya spesial bagi keluarga besar mereka yang lain melainkan bagi nenek buyut mereka sendiri.
Nenek buyut mereka yang kini berusia berusia lebih dari seratus tahun adalah satu-satunya orang di generasi tertua di keluarga besar Jenaka. Wanita tua yang sering dipanggil "Ayut" itu kini hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil melamun menunggu kapan ajalnya tiba.
Ayut-nya selalu memiliki waktu menyendiri di teras rumah untuk mendapatkan asupan matahari sore dan tugas Jenaka adalah memainkan piano untuknya. Ibu juga perawat akan menaikkan Ayut ke atas kursi roda dan mendorong wanita tak berdaya itu untuk duduk sendirian.
Dulu, ada kakak Jenaka, Jetis, yang selalu memainkan piano untuk nenek. Tapi setelah Jetis lulus kuliah dan mulai bekerja di salah satu firma hukum swasta, tugas tersebut jatuh kepada Jenaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Jenaka (Complete)
Historical FictionJenaka adalah seorang kutu buku yang tengah mempersiapkan Ujian Akhir Sekolah. Jenaka tinggal bersama nenek buyutnya yang mengidap Dementia. Suatu hari tanpa disengaja, Jenaka menemukan sebuah rahasia yang selalu disembunyikan oleh neneknya. Jenaka...