2

22.1K 2.3K 105
                                    

"Ayut," panggil Jenaka lembut.

"Ja, Jenaka. (Ya, Jenaka)"

Jenaka memberanikan diri menggenggam tangan Ayutnya yang hanya tinggal kulit keriput dan tulang-tulang saja.

"Jenaka, saya ingin berbicara sama kamu."

"Tentu, Ayut. Jenaka akan mendengarkan dengan seksama."

Ayut tersenyum simpul dan mengusap wajah cicitnya dengan penuh kelembutan. Wanita tua itu didudukkan dengan bersandarkan bantal.

"Saya punya hadiah untuk kamu. Pemberian suami saya. Maaf saya baru mengingatnya."

Jenaka menoleh ke arah ayah dan ibunya kemudian neneknya. Mereka bertiga juga tidak mengerti dengan apa yang Ayut ucapkan. Tapi yang jelas suami yang dimaksud itu adalah Kakek buyut yang sudah lama meninggal di Belanda.

Ayut memanggil perawat untuk membuka kotak yang disimpannya di bawah kasur. Dengan tangannya yang ringkih Ayut membuka kotak tersebut dan terdapat gelang dengan tiga mata berlian merah.

"Teman kita, Jati, membuatkan ini untukmu. Sebenarnya gelang ini akan digunakan oleh Tuan Jaksa untuk mencarimu tapi pria itu terlalu sakit setelah kehilanganmu. Dia telah meninggalkan kita dengan lebih cepat. Jauh sebelum Jati menyelesaikan benda ini."

Semua orang di sana tak mengerti apa yang dibicarakan oleh Ayut. Mereka hanya tahu nama Jati, itu adalah nama Kakek buyutnya tapi Tuan Jaksa ... mereka tidak punya ide tentang apa pun yang tengah dikatakan oleh Ayut.

Jenaka melihat gelang di depannya dengan bingung. Ia tak tahu harus diapakan gelang itu. Modelnya cukup sederhana, gelang emas itu memiliki tiga mata berwarna merah yang indah. Jenaka sempat terpukau sejenak melihat gelang itu lebih lama.

"Terima kasih, Ayut." ujar Jenaka membuat Ayut kembali tersenyum.

"Jenaka, putri manisku, bisakah kamu kembali memainkan lantunan piano itu? Sudah lama saya tidak mendengarnya. Lantunan piano terakhir darimu yang mengingatkan kehangatan kita berempat. Saya merindukan kamu, Jati dan Tuan Jaksa."

Lagi-lagi tak ada yang mengerti satu pun tentang ucapan yang Ayut lontarkan.

Jenaka mengiyakan. Ia akan bermain piano lagi meskipun beberapa jam sebelumnya juga ia sudah bermain lagu yang sama selama tiga puluh menit.

Ayah mengangkat Ayut untuk naik ke atas kursi roda. Ibu kemudian mendorong kursi roda Ayut untuk duduk seorang diri di teras malam. Nenek menghamparkan selimut tebal agar Ayut tak kedinginan.

Jenaka meletakkan gelang pemberian Ayut di depannya. Cahaya merah dari berlian itu berpendar kecil. Saking jernihnya berlian itu, Jenaka sampai bisa melihat pantulan wajahnya sendiri.

Jenaka menghela napas panjang sebelum memulai dan sekali lagi malam itu kediaman rumah Jaksa Aryadiningrat kembali hening, hanya lantunan melodi dari piano yang berbunyi.

Dengan setiap melodi yang terdengar, rasanya tubuhnya kembali muda dan lebih muda lagi. Tak ada keriput yang yang menggantung di kulitnya. Wanita tua itu tersenyum, matanya menatap binar bulan dengan penuh perasaan.

"Maaf membuatmu menunggu lama, saya sudah menyampaikan pesan terakhirmu."

Bayangan pria yang tengah tersenyum ke arahnya menggeleng.

"Maaf, saya sudah membohongi kalian bertiga selama ini. Tapi saya tidak pernah menyesalinya. Saya bangga kebohongan itu saya simpan sampai akhir. Tapi sudah waktunya kalian tahu. Waktu saya sudah berakhir. Saya ingin beristirahat sama kamu."

Pria itu tak bersuara hanya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

"Maaf saya buat kamu menunggu lama."

Surat Untuk Jenaka (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang