Song of the day: Setulus Hatimu Semurni Cintaku by Arie Koesmiran
Ruang lemari bergetar dengan sangat kencang. Seperti gempa dengan skala richter tinggi. Jenaka mencoba memegang kedua sisi lemari. Ia bahkan terbatuk ketika getaran lemari itu menurunkan banyak debu di depan wajahnya. Jenaka semakin panik ketika dunianya seperti diputar berkali-kali..
"Mimpi? Ini mimpikan? Ibu!" teriak Jenaka kencang.
"Ayah!"
"Jetis!"
"Tolong Jenaka!! Nenek! Ayuuuttt!!!"
Jenaka terjatuh ke lantai. Terlempar dari dalam lemari yang pintunya tiba-tiba bisa dibuka. Gadis itu. Memeluk tasnya dengan erat. Ia menangis tersedu-sedu di tempatnya menunggu ruangan tersebut roboh menimpanya. Ia sudah pasrah. Tidak ada yang mendengarnya. Ia tidak akan hidup panjang. Usianya hanya bertahan sampai di sini saja.
Jenaka menangis karena ia tahu bahwa dirinya tidak memiliki masa depan. Mimpinya untuk menjadi pengacara sirna di depan matanya bersama gempa yang akan menelannya sebagai seorang korban.
CKLEK...
Jenaka masih terisak di tempatnya.
Perlahan ia sadar bahwa ruangan di sekelilingnya tak lagi bergetar. Jenaka mendorong tubuhnya menjauh dari lantai. Tasnya sampai basah oleh air mata yang terkumpul. Tangannya masih memegang gelang peninggalan Ayutnya dengan sangat erat.
Dari sudut pandangnya ia melihat sepasang kaki tanpa alas kaki. Kaki-kaki itu begitu indah dengan jarik batik warna ungu lembut.
"Nenek?"
Jenaka mendongak.
Di depannya ... berdiri dirinya yang mengenakan pakaian kebaya berwarna putih. Pandangan Jenaka terus naik hingga mereka kembali saling bertatapan. Jenaka mengernyitkan kedua alis. Masih tak mengerti mengapa ia bisa melihat dirinya sendiri berdiri mengenakan pakaian milik neneknya di depan pintu?
Apakah dia sudah meninggal dan sekarang arwahnya berkeliling?
"Raden Ajeng?"
Terdengar panggilan seseorang dari luar. Jenaka ingin melongok. Perempuan itu masuk dengan tergesa-gesa dan menutup pintu di belakang mereka. Perempuan yang sangat mirip dengan Jenaka itu mendekati Jenaka, meraih tangannya kemudian menyeret Jenaka untuk duduk di balik lemari kayu.
Perempuan itu meletakkan telunjuknya di depan bibir.
"Kamu tunggu di sini. Saya akan kembali."
Jenaka masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia hanya bisa mengangguk ketika melihat perempuan yang mirip dengannya itu menyuruhnya diam. Perempuan itu mengambil sesuatu dari lemari kemudian berlari menuju pintu.
Jenaka mencoba mengintip.
"Raden Ajeng, apakah Raden Ajeng ada di dalam?" tanya seseorang dari luar ruangan.
"Iya, saya mengambil ini."
"Raden Mas Panji Aryadiningrat akan berkunjung sebentar. Saya ditugaskan untuk menemani Raden Ajeng agar Raden Ajeng tidak gugup."
Pintu tersebut ditutup kembali meninggalkan Jenaka seorang diri.
Jenaka tengah merenungkan apa yang terjadi padanya saat ini. Matanya melirik ke kiri dan kanan. Memeriksa semua bagian ruangan yang ... berubah.
Ruangan itu berukuran sama seperti yang terakhir Jenaka ingat. Hanya saja tidak ada reruntuhan dinding, atap, kayu atau semua barang-barang yang berantakan. Justru sebaliknya. Ruangan itu sangat rapi. Berisikan beberapa lukisan tangan yang belum selesai juga tumpukan kain dengan motif bunga hasil anyaman yang juga sama belum selesai. Dan lemari tempat Jenaka bersembunyi tadi juga berubah. Terlihat lebih baru dengan warna kayu yang masih segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Jenaka (Complete)
Historical FictionJenaka adalah seorang kutu buku yang tengah mempersiapkan Ujian Akhir Sekolah. Jenaka tinggal bersama nenek buyutnya yang mengidap Dementia. Suatu hari tanpa disengaja, Jenaka menemukan sebuah rahasia yang selalu disembunyikan oleh neneknya. Jenaka...