18 "Luhan dan Andrea"

38 6 0
                                    

Soundtrack: Sahabat Sejati - Sheila On 7

Hallo Readers!

Selamat datang kembali! Mohon maaf, iaroalix baru bisa update lagi. Hal ini karena iaroalix baru pindah ke tempat baru jadi banyak banget yang harus diurus 😁
Mohon maaf sekali lagi 🙏🤗

Jika ada saran, kritik, typo, silahkan komen, yaa.

Happy Reading! 🥰
- iaroalix


***



Jakarta, Januari 2005

Sudah hampir setengah jam Luhan hanya di kursi. Mengetuk-ngetuk gelas. Sudah berhenti ia menelaah satu persatu wajah yang samar-samar diingatan. Reuni memang membawa banyak wajah yang sepertinya dikenali. Namun tidak yakin.

Luhan sudah melakukan sejak tadi dan memilih menikmati lantunan Sahabat Sejati yang kini memasuki verse kedua. Sudah lama ia tidak punya banyak teman. Dari masa lalu atau masa kini.

Bergaul adalah salah satu hal tersulit walau ia seorang Manager Marketing. Bukan hanya itu. Raut wajah yang dingin menjadi pembatas manual setiap saat. Namun tidak kali ini.

"Ingin tambah?" suara lembut itu membangunkan Luhan dari rasa kantuk yang mulai menyerang.

"Boleh," ucapnya menyodorkan gelas.
Gadis itu menuangkan. Lalu duduk di samping Luhan.

"Kenapa tidak ikut joget?"

"Saya tidak begitu suka."

"Tidak suka? Atau tidak tahu?" tanyanya mengejek.

Luhan menyeringai.

"Dua-duanya," jawab Luhan yang menangkap tawa kecil gadis itu.

"Bapak angkatan berapa?"

"Sudah lama. Mungkin 10 atau 11 tahun lalu."

"Cukup lama."

"Yaa. Sudah tua."

"Uumm, tidak terlihat. Kita bahkan terlihat seumuran."

Luhan tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar. Tentu saja ia suka. Pria dewasa sepertinya mendapat pujian dari gadis cantik dan muda.

"Memangnya kamu umur berapa?"

"Aku 19. Kamu? Eh, maaf-maaf. Tidak sopan memanggil 'Kamu'."

"Tidak apa-apa. Senyaman kamu saja."

"Baiklah," ucap Andre mengangguk.

"Kita beda 10 tahun ternyata," lanjut Luhan sedikit terkejut. Gadis di depannya ternyata memang sangat muda.

"Tidak apa-apa juga. Berteman dengan yang lebih tua membuat kita lebih dewasa 'kan?"

Luhan terkikih. Ada sedikit perasaan aneh ia bisa bicara begitu santai dengan gadis yang terpaut jauh usianya. Tanpa menganggapnya gadis kecil.

"Ya, mungkin. Jadi kamu mau berteman denganku?"

"Iya, tentu saja. Tidak banyak yang kukenal di sini. Dan kulihat sejak tadi kamu hanya sendiri. Kita saling membutuhkan seseorang untuk diajak bicara. Iya 'kan?"

Luhan tersenyum lagi sambil menunduk kecil. Mereka baru bertemu beberapa menit lalu namun gadis ini sudah mengenalnya. Bahkan melaui pandangan jauh.

"Oke. Kalau begitu, siapa namamu?"

"Aku Andrea. Mahasiswa Akuntasi angkatan 19," jelas Andrea menjulurkan tangan.

"Aku Luhan. Alumnus Manajemen dan Bisnis. Angkatan... Aku lupa," Luhan menjabat tangan Andre dan disambung tawa keduanya.

Ucapan Andrea tervalidasi dengan cepat. Benar mereka hanya butuh teman bicara. Tidak berselang lama obrolan itu berlanjut. Berlanjut dengan panjang. Musik dan lalu-lalang orang tidak mengalihkan perhatian keduanya. Candaan itu tetap mengelitik ke setiap detik berikutnya.

Lalu candaan menjalar pada pengenalan lebih pribadi. Tempat tinggal, kegemaran, ketakutakan, bahkan kehidupan.

Tetap saja terasa lucu bagi Luhan. Ia terkejut pada diri sendiri. Bagaimana bisa secepat itu terbuka pada orang asing yang ia temui beberapa menit lalu.

Entahlah. Ia sendiri tidak bisa menjawab. Mungkin bertemu lebih sering akan memberikan penjelasan.

Dan sejak hari itu, mereka bertemu lebih sering. Tidak hanya untuk menemukan jawaban Luhan. Andrea juga.

***

Yogyakarta, September 2005

"Selamat ulang tahun," ucap Luhan menyodorkan buket Lily biru. Bunga kesukaan Andrea. Lalu ucapan selamat itu berlanjut dengan kecupan di dahi.

"Terima kasih, Pak Luhan."

"Kamu ingin kado apa?"

"Apa saja. Apa pun dari kamu, aku suka."

Luhan tertawa. Bahagia. Salah satu hal yang ia sukai tentang Andrea adalah kesederhanaan di balik latar belakang keluarganya.

"Kamu ini. Selalu saja. Dan itu kenapa, aku selalu mencintaimu."

Adrea tersenyum lapang. Walau sudah sering diucapkan, pengakuan itu selalu manis setiap kali didengar.

"Aku juga."

"Tapi... Apa tidak apa-apa makan di tempat terbuka seperti ini?"

"Tidak apa-apa. Ini 'kan Jogja. "

"Iya, sih. Tapi aku takut ada yang mengenalmu."

"Tenang saja. Aku tidak punya banyak kenalan di sini. Kamu tahu 'kan aku tidak begitu suka bertemu orang."

"Benar juga."

"Ya, sudah. Nikmati saja makanannya."

"Baiklah. Pak Luhan."

Mereka menikmati hidangan di meja. Juga kebersamaan itu. Kebersamaan yang sering disembunyikan.

***

Apakah Kita Akan Bahagia? (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang