01 "Pekhianatan"

209 12 0
                                    

Derana menilik di balik kaca pintu taksi. Memandangi riuhnya Jakarta saat petang. Muda-mudi khususnya. Udara sore yang tenang selalu membangunkan perasaan sedih yang disukai. Aneh.

Walau pintu tertutup rapat, ia sayup-sayup mendengar teriakan anak kecil bermain di taman. Derana merindukan itu. Masa kecilnya.

"Sudah sampai, Mbak."

Derana terperanjat. Lamunan membawanya terlalu dalam tanpa sadar.

"Ini, Pak," ucap Derana menyodorkan lembaran lima puluh ribu.

"Makasih, Pak."

"Sama-sama, Mbak."

Derana melangkah ke dalam restoran di depannya. Ia harus menemui seorang narasumber dari berita yang sedang ia tulis.

Tidak banyak langkah yang diambil sampai kakinya terhenti di lobi. Menyelidik wajah-wajah asing di hadapannya. Namun ternyata tidak semua asing. Seorang familiar ditangkap netra Derana. Senyumnya mengambang cepat tetapi menghilang pula dengan cepat. Secepat pikiran buruk timbul.

"Karsa?"

"De...derana??"

"Sedang apa di sini?" sambung Karsa kelabakan.

"Kamu yang sedang apa?? Bersama Cecil."

"Sayang, ada apa?" Cecil menimpali. Spontan membuat Derana melotot padanya.

Sayang??!

"Tidak. Kamu tunggu aku di parkiran, aku akan menyusul. Secepatnya."

"Oke."

Cecil berlalu pergi. Memberikan ruang pada dua manusia yang membuatnya kebingungan. Setelah Cecil lenyap pun mereka masih terdiam. Karsa menunduk. Derana menatapnya, menunggu ia menentang semua pikiran buruk itu.

Hingga menit berikutnya berganti.

Lalu semua memudar. Namun kalimat Karsa tidak. Semakin keras Derana memahami, semakin kuat isi kepalanya mengutuk.

Ketakukan, amarah, kecewa, dan ketidakberdayaan membuatnya mematung. Karena seberapa keras pun ia menyalahkan Karsa, kalimat itu tidak diubah.

"Ayo mulai dari awal. Aku akan menganggap ini tidak pernah terjadi." Suara Derana bergetar hebat di atas keputusasaannya.

"Tidak bisa. Aku ...."

Hembusan napas Derana menyela. Apa yang ditangkap netranya lima menit lalu mengaburkan sebagian besar logikanya.

Derana menunduk dengan semua beban yang hampir tidak lagi sanggup ditampung kepala mungilnya. Air mata tidak cukup mewakili kesesakan yang menghamburkan aturan napasnya. Tangannya mengepal dan bebas untuk dilayangkan.

"Apa tiga tahun masih terlalu singkat?"

Karsa terdiam. Mimik datarnya menyedot banyak air mata Derana.

"Ini seharusnya berakhir. Sejak awal."

Berakhir yang kesekian diucapkan Karsa masih sama menyakitkannya ditangkap telinga Derana. Pikiran bahwa Karsa tidak pernah benar-benar menerima ketidakberdayaannya menemui jalan akhir dari kalimat "Sejak awal" yang menggema di kepalanya.

"Jadi, memang tidak pernah ada kita? Setelah tiga tahun??"

"Pernah ...,"

"...dan sudah hilang."

Lagi. Air mata Derana tumpah bersama napasnya yang semakin berat. Kenyataan bahwa Karsa menyebutnya dengan sangat mudah, menggetarkan seluruh tubuhnya. Amarah dan kesedihan menyatuh di sana.

Apakah Kita Akan Bahagia? (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang