25 "Kebahagiaan yang Menyiksa"

53 7 0
                                    

Hallo Readers!

Selamat datang kembali. Sebelumnya iaroalix ingin mengucapkan terima kasih untuk 1k pembaca 🥰🥰🥰
Terima kasih untuk segala bentuk dukungan pada "Apakah Kita Akan Bahagia?"

Sebagagi informasi, ini adalah episode kedua terakhir. Episode terakhir akan diupload minggu depan.

Jika ada saran, kritik, masukan, typo, apa pun silahkan komen, ya.

Happy Reading! 🥰
-iaroalix


***




Tidak ada yang menyukai pemakaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada yang menyukai pemakaman. Deretan bunga krisan, pakaian hitam-putih, dan dupa yang dibakar. Segala hal tentangnya memilukan. Perpisahan terakhir tentu sangat memilukan.

Saut-menyaut mereka yang melayat, berbincang segala kebaikan yang pergi atau sekedar bertegur-sapa. Mengobati kesedihan. Namun sebesar apa pun perasaan itu, tak akan pernah menandingi kehilangan mereka yang mendampinginya sepanjang hidup. Mereka tidak akan pernah tahu, sebesar apa pilu menggerogoti Derana. Saat ini sedang menatap kosong pada bingkai foto Wuyan.

"Derana..."

Derana mendongak pada suara yang berhati-hati itu.

"Dok, Sus," balas Derana dengan suara parau yang hampir habis.

"Kami turut berduka."

"Terima kasih, Dok."

"Mamamu pasti sudah bahagia di sana. Dia tidak lagi merasakan sakit."

"Iya, Dok. Dan terima kasih banyak sudah merawat Mama setahun lebih ini."

"Tidak, Derana. Itu sudah tugasku."

"Oh iya, malam sebelum Mamamu pergi, beliau menitipkan ini," ucap Alya menyodorkan sebuah amplop putih.

"Apa ini?"

"Sepertinya surat."

"Ohh. Terima kasih, Dok."

"Ya sudah, saya dan Suster Rina harus kembali. Ada operasi yang menunggu."

"Baik, Dok. Terima kasih sekali lagi."

"Iya."

Alya dan Rina memberi penghormatan terakhir pada almarhumah dan keluarga sebelum langkahnya menjauh.

"Derana..."

Derana kembali mengangkat pandangan pada Yoana.

"Ada apa?"

"Ada yang ingin bertemu."

"Siapa?"

Yoana menurunkan pandangan, khawatir. Lalu bergeser ke kiri. Menampakkan pria paruh baya. Pria yang ingin Derana lupakan seumur hidup. Pria yang paling tidak ingin ia lihat di pemakaman Wuyan.

"A..apa yang Anda lakukan di sini??"

Yoana, Derana, dan Luhan melihat itu. Kesedihan yang berganti kobaran amarah. Derana bahkan berdiri setelah seharian hanya terduduk lemas.

Luhan mematung, tidak memberi jawaban bahkan setelah detik berlalu dan kilauan air di pelupuk matanya menggumpal. Malah kedua lutut merapat ke lantai dan kepala menduduk jauh.

"Maafkan, Papa. Papa menyesal. Ma...maafkan, Papaa..." Kalimatnya terbata-bata. Tangisannya memenuhi ruang pemakaman. Tangisan memilukan berbalut banyak penyesalan.

Heh..

"Baru sekarang?? Setelah Mama meninggal??!"

"PAPA KE MANA SAJA??!!"

"Deranaa. Sudah..."

"Lepaskan!!" teriak Derana menghempas kuat rangkulan Baswara. Menyedot perhatian para pelayat.

"Maafkan, Papaa. Papa benar-benar minta maaf. Wuyan maafkan aku..."

"Terlambat! Papa pikir Mama akan hidup kembali jika Papa minta maaf?? Papa pikir lima belas tahun itu akan kembali jika minta maaf??"

"Maafkan, Papaa."

"Hentikan!! Keluar!! Pergi dari sini!! PERGI!!"

Derana menyeret Luhan dengan sedikit tenaga tersisa. Bahkan tangisan pilu beserta puluhan permohonan maaf tidak meruntuhkan kebencian itu. Rasa sakit belasan tahun tidak akan berakhir semudah itu.

Pada akhirnya Luhan menuruti. Ia pergi. Perbuatan masa lalu yang ia sadari tak pantas berdamai dengan maaf, hanya menambah luka Derana.

"Baswara ...,"

"...kamu pergi."

Tarikan napas Baswara terdengar sayup-sayup. Kedua bola matanya bergetar dipenuhi ketakutan.

"Tidak, Derana. Aku akan terus di sini. Bersamamu. Apa pun ...."

"Tidak!!. Ini juga menyiksaku, Baswara... Sangat." Tangisan Derana berlanjut.

Kehadiran Luhan melebarkan luka itu dan membuat penerimaannya pada Baswara terlalu menyakitkan.

"Sebaiknya Pak Baswara pergi. Saya akan menjaga Derana," mohon Yoana. Tangisan Derana yang menggema begitu memilukan tak bisa terus berlanjut.

Baswara menghela napas panjang. Menatap dalam pada Derana dengan bola mata yang memerah dan tangan yang mengepal.  Air mata yang sejak tadi dibendung sekuat tenaga, mengalir dan membasahi wajah sayunya. Ketidakberdayaan yang menyatukan kesedihan dan amarah di balik dada begitu menyesakkan. Napasnya tersengat bersama air mata yang terus meluapkan kesedihan.

Namun pada akhirnya ia tetap tidak berdaya. Langkah berat Baswara membawanya menjauh.

"Yoana, aku ingin sendiri."

"Tapi ...."

"Aku mohon..."

Yoana menghela napas. Ia pun tak punya pilihan.

"Baiklah. Aku akan menemui pelayat di luar. Panggil saja jika butuh sesuatu."

"Uum. Terima kasih."

"Iya."

Yoana mengusap lengan Derana beberapa kali. Terus berupaya meringankan beban Derana. Kemudian beranjak keluar. Meninggalkan Derana sendiri, kembali menatap foto Wuyan yang tersenyum.

Mama jahat.

Mama bahagia di sana dan meninggalkan aku seperti ini.

Aku ingin ikut Mama.

Di sana kita akan bahagia.

Sepertinya, kebahagiaanku memang bukan di dunia ini.

***

Apakah Kita Akan Bahagia? (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang