04 "Pengkhianatan Pertama"

96 9 2
                                    

Soundtrack: Tak Ingin Usai - Keisya Lovranka

***


Jakarta, Maret 2007

Tidak ada yang suka perpisahan. Bukan hanya tentang betapa sulit melupakan yang sudah dilalui, namun juga belajar menerima hal baru dari awal. Berpikir bagaimana harus memindahkan hal-hal yang menemani sepanjang waktu ke tempat yang belum tentu memberi kenyamanan, sudah melelahkan.

Lalu bagaimana dengan yang memilih perpisahan? Memilih sendiri untuk pergi. Meninggalkan zona nyaman yang sudah diberi dan didapat. Siapa yang akan disalahkan? Keputusan kah? Atau zona yang mungkin tidak benar-benar membuatnya nyaman?

"Aku mohon... Aku benar-benar memohon..."

"Lepaskan." Suara dingin tidak berperasaan itu memenuhi ruang tamu.

"Demi Derana... Pikirkan tentangnya."

"Jaga dia. Sekarang itu tugasmu."

Genggaman tangan Wuyan melemah. Harapan yang dibangun bertahun-tahun, perlahan memudar bersama kekuatannya. Ia tersungkur dalam keheningan karena air mata menyerah mengungkapkan kepedihannya. Semuanya sia-sia.

Ini benar-benar berakhir.

"Papa..."

"Jangan pergi... Jangan tinggalkan Derana..."

Lagi. Luhan melepas paksa genggaman seseorang yang pernah ia janjikan kebahagiaan seumur hidup.

"Maafkan Papa."

Jika ia tidak peduli dengan tangisan putri sematawangnya, sudahlah Ibu anak itu. Luhan menarik koper dan membuka pintu. Dari balik kilauan cahaya, Wuyan menatap gadis muda di dalam mobil Luhan sedang menunggu. Derana juga. Hanya saja ia masih terlalu muda untuk mengerti alasan gadis itu di sana.

"Papa!!"

Belum sempat Derana keluar pintu, Wuyan menariknya cepat dalam pelukan. Menutup mata anak belianya agar tidak melihat Luhan mencium gadis asing itu.

"Papa jangan pergi! Jangan tinggalkan Derana!! Mama lepaskan!" Kalimat itu terulang-ulang. Semakin kuat teriakan Derana, semakin kuat pula pelukan Wuyan. Dengan tangisan yang diredam dan rasa sakit yang ditekan sekuat mungkin.

Lalu semuanya menumpuk setelah mobil Luhan tidak tampak lagi. Wuyan kembali tersungkur dan tanpa sadar melepas Derana berlari ke luar.

Tangisannya pecah. Jauh lebih kuat dari sebelumnya. Seperti teriakan anak kecil, Wuyan terisak sambil memukul-mukul dadanya.

Pengkhianatan, kekecewaan, amarah, kesedihan, dan ketidakberdayaan menyatuh di sana. Mendapati jalan buntu dan menghapus akhir bahagia dari kisah yang ia tulis. Ah, tidak. Menghapus dari halaman pertama.

....

Waktu berlalu dan tidak ada yang bisa mengembalikan. Tidak ada yang bisa menghentikan pilihan Luhan. Sama seperti tidak ada yang bisa menghentikan retakan luka yang semakin banyak.

Wuyan tegar. Setidaknya dari luar untuk Derana. Namun anak 12 tahun itu memiliki perasaan yang rapuh. Dua tahun ia habiskan duduk di depan pintu dan menghilangkan semua ego anak kecil seusianya.

Pikiran polos yang diciptakan alam bawah sadarnya bahwa Luhan hanya pergi bekerja. Ayahnya akan kembali dan membawa boneka beruang seperti yang selalu ia lakukan dua tahun lalu.

"Dia tidak akan kembali!"

"Tidak! Papa akan kembali. Lepaskan!!" teriak Derana sambil menghempas kuat tangan Wuyan.

"Dia bukan lagi Papamu! Dia memilih gadis muda itu!! Dia meninggalkan kita demi gadis itu!!"

Bentakan Wuyan membuat Derana mematung. Ingatan gadis muda tempo hari dalam mobil Luhan, melintas di ingatan Derana.

"Ti...tidak mungkin. Papa tidak seperti itu."

"Sadar Derana!! Laki-laki itu b*rengsek!" Teriakan Wuyan kali ini diikuti tangisan. Sebenarnya ia tidak ingin mengungkit peristiwa kelam itu. Namun ia harus membangunkan Derana.

Derana tersungkur dengan rasa sakit ibunya yang akhirnya ia mengerti. Walau tidak adil rasanya membuat anak seusianya menanggung rasa sakit itu, namun ini pilihan terbaik bagi Wuyan.

Wuyan berdiri. Dua tahun membuatnya sedikit lebih tegar. Lalu memeluk kuat Derana yang terisak. Pelukan tempo hari yang Wuyan lakukan, akhirnya juga dimengerti. Kali ini Derana tahu betapa berharganya pelukan itu.

Walau begitu, ia tetap tidak layak dengan semua luka itu. Saat anak-anak lain mengabiskan petang dengan tawa, Derana menghabiskan waktu untuk melebur ingatan menyakitkan tentang Luhan. Saat anak lain belajar semakin mencintai ayahnya, ia belajar semakin melupakan sosok itu.

Lalu perlahan kenangan itu menghilang dan hanya menyisahkan ingatan samar-samar. Bahkan tampang yang ia sebut pria asing itu tidak lagi jelas. Dan Derana mensyukuri itu. Bahwa ia telah berdamai.

Bahwa ia mungkin akan bahagia.

***
~
~
~
(Character)



Won Young Choi as Luhan Zuu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Won Young Choi as Luhan Zuu

Apakah Kita Akan Bahagia? (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang