I am officially entering my clown era.
Rasanya baru kemarin aku hampir melempar cup berisi hot chocolate ke wajah Aries. Kesal menyadari bahwa dia sengaja mempermainkanku dan review-ku. Lalu, lihat apa yang kulakukan sekarang? Membantu Aries menyajikan sarapan di dapur No. 46, tempat yang bikin aku senewen pada kunjungan pertama.
"Not bad," komentar Aries kala mengambil irisan telur dadar buatanku. "Masih ada bagian yang moist, favoritku. Sedikit training dan kamu bisa bikin omurice."
"Jangan berlebihan." Kalian dengar, kan? Pria ini memuji masakanku! Aku senang mendengarnya terlepas dari sikapnya yang terus membuatku bertanya-tanya. "Anyway, thank you for inviting me here, di luar jam kerja pula."
Aries menaruh segelas air untukku. "Kamu enggak berminat melanjutkan keributan yang tertunda di rumah Ghina?"
"Hey, now-" Lupakan, dia masih menyebalkan. "Makan dulu, lalu kita bahas semuanya."
Saat mengunyah suapan pertama, aku terdiam dan mengerling ke arah Aries. Penjual nasi goreng yang jadi guru Aries semalam punya racikan yang dijamin bakal membuat Plankton berhenti mencuri resep rahasia Krabby Patty.
Or it's just Aries who's really good at cooking.
Intinya, dari sekian banyak nasi goreng yang pernah kucoba, dan kumasak sendiri, buatan Aries yang kusantap pagi ini sangat enak. Delicious is understatement by the way, seandainya ada kata lain yang levelnya di atas enak, aku akan pakai buat mendeskripsikannya. Potongan salmonnya tak terlalu kering. Kacang polongnya mudah dikunyah. Perpaduan kecap manis, bawang-bawangan, dan mericanya juga pas.
Sementara telur dadarku, meski Aries bilang enak, seperti tim hore di piring.
"Too bad aku cuma bikin buat dua porsi. You liked it that much?" Pertanyaan Aries tadi pasti ditujukan pada piringku yang bersih. "Atau memang sedang lapar?"
"Emang enak, kok. You nailed it." Aku menghabiskan sisa minumanku. "Kamu enggak berencana masukin nasi goreng ini ke menu No. 46?"
"Sebenarnya, aku bikin hidangan ini untuk menanyakan pendapatmu tentang hal itu. No. 46 belum punya menu nasi goreng dan aku bingung menentukan racikan yang pas. That's why I went to Cibadak last night."
"Dari sudut pandangku sebagai konsumen, aku bakal pesan beberapa kali. Cuma kamu perlu tambah emping atau kerupuk. Telurnya juga dibuat mata sapi."
Aries berdecak. "Serius? Padahal tadinya aku mau minta resep telur dadarmu."
"Can you not-" Aku tak tahu apa Aries benar-benar memujiku atau sedang meledek. "Aku tunggu nasi goreng ini masuk menu di kunjungan berikutnya."
Seringai yang muncul di wajah Aries pada detik berikutnya bikin aku bergidik. "Can't wait to serve you again."
*
Tinggal 20 menit sebelum staf No. 46 datang. Aries memanfaatkan waktu tersebut untuk menyajikan fried champignon dan calon snack yang juga bakal masuk menu dalam waktu terdekat: keripik bayam.
"Kamu enggak mau melanjutkan keributan kita yang tertunda?" Giliranku yang menggoda Aries. "I'm fully charged now, I can fight you."
Aries, yang sedang menata fried champignon dan keripik bayam dalam kotak makan, tersenyum samar. "Tergantung, kalau kamu masih perlu menumpahkan kekesalan padaku, go ahead."
Jika aku mempertahankan gejolak emosi yang muncul pada kunjungan pertama ke No. 46, aku akan menuruti permintaan Aries. Akan tetapi, tiap pertemuan yang melibatkan kami selalu memberikan perspektif berbeda padaku. I'm no longer holding grudges, but the curiosity keeps growing. Setiap aku bertemu Aries, semakin aku tak mengenal sosok di hadapanku.
"Well, ask me something," kataku. Keterkejutan yang terpancar dari mata Aries menunjukkan dia tak menduga ucapanku itu. "Anggap saja sekarang kamu pengin tahu bagaimana aku mengerjakan review, seperti aku mengulik full course meal No. 46 saat liputan tempo hari."
"Baiklah, pertanyaanku simpel." Ditutupnya kotak makan sebelum Aries memasukannya ke dalam totebag. "Kenapa playlist? Kenapa musik latar, bukan opini tentang desain interior atau seragam waiter yang harus jadi ciri khas review-mu?"
Sudah kuduga. To the point. Aku mengharapkannya mengajukan pertanyaan itu supaya dia mengerti betapa pentingnya penilaian musik latar dalam review-ku.
"Aku pernah bilang aku newbie di dunia kuliner, kan?" Anggukan Aries membuatku melanjutkan, "I used to write reviews for music gigs, tetapi karena alasan yang enggak bisa kurangkum, aku resign dan banting setir jadi food writer demi menyambung hidup.
"Meski udah menulis review selama empat tahun, membahas topik di luar bidang yang kukuasai itu... sulit. It feels like taking baby steps again. Ghina enggak menyerah dan menanyakan satu hal yang sering kusimak tiap datang ke tempat makan selain menu, lalu aku jawab playlist yang diputar jadi musik latar.
"Dari sana kamu melihat penilaian musik latar di setiap review-ku-yah, kecuali No. 46."
Salah satu sudut bibir Aries terangkat. "Kesimpulannya, penilaian musik latar itu semacam elemen yang menjembatani pengetahuanmu tentang musik dengan dunia barumu sebagai food writer, begitu?"
"Right, you got the point."
"Bagaimana kalau kamu harus meliput tempat seperti No. 46 lagi?"
Pertanyaan yang menjebak. Jujur saja, aku berharap tak dipasangkan lagi dengan tempat makan seperti No. 46. Di sisi lain, barangkali pertemuanku dengan Aries membuahkan pengalaman dan pelajaran yang menyiapkanku kala berhadapan dengan situasi serupa.
"Kalau aku meliput di tempat seperti No. 46 lagi," kuterima totebag pemberian Aries dan mencondongkan tubuh padanya, "aku akan tetap memberikan performa terbaikku sebagai food writer, walau artinya aku harus bilang tempat itu kurang maksimal tanpa musik latar sebagai pendukung suasana."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Notes On A Plate
Romance[Sebelumnya berjudul "The Playlist"] "Kenapa playlist-nya? Kenapa musik latar bukan opini tentang desain interior atau seragam waiter yang harus jadi ciri khas review-mu?" Bagi Winona, musik memberikan dampak besar pada kehidupan manusia, termasuk s...