"SELAMAT, Ino! You deserve it! Nih, aku sampai bikin salmon mentai rice buat kamu." Ghina menyerahkan aluminium foil tray berisi makanan tersebut padaku. "Kapan kamu official kerja jadi penulis tetap di YummyFood?"
"Minggu depan, tapi lusa aku masih harus ke kantor buat ngurus kontrak." Aroma gurih dari salmon mentai rice serta-merta menerbitkan air liur. "Aku juga lagi cari-cari indekos. Kemarin nemu ada yang oke di sekitar Surapati."
Ghina berhenti menyeruput strawberry smoothie-nya, lalu merunduk ke arahku. "Kalau kamu pindah dari No. 46, berarti kamu sama Aries bener pacaran?"
Kuambil sendok dan mulai mengunyah nasi yang masih mengepul hangat. Melihat sikapku, Ghina hanya berdecak, lalu pamit meninggalkan paviliun saat ART memberitahu Elara butuh ASI.
Soal pertanyaan tadi, belum, aku dan Aries belum terikat hubungan apa pun. Seperti yang kulakukan pada Ghina tadi, Aries tidak menanggapi pertanyaanku malam itu. Aku maklum dia butuh waktu; ini kali pertama dia berhadapan dengan komitmen serius. Di sisi lain, aku berharap Aries akan memberikan kepastian yang kunantikan, entah baik atau buruk.
Namun, aku sendiri tak bisa membayangkan kesiapanku menghadapi patah hati berat untuk kali kedua.
*
Satu jam kemudian, Ghina kembali bersama semangkuk popcorn. Menurut pengakuannya, dia jadi mudah lapar selama masa menyusui dan menyediakan camilan adalah solusi terbaik buat mengganjal perutnya sebelum makan besar.
"Kamu dinner di sini aja, ya. Leo bilang mau take away dari tempat meeting," katanya sembari menyerahkan mangkuk popcorn padaku. "Kenapa kamu dari tadi ngelamun, sih? Mikirin apa... atau siapa?"
Aku nyaris tersedak sebutir popcorn mendengarnya.
Ghina duduk di sampingku, lalu melepas helaan panjang. "Ino, aku emang udah jadi ibu sekarang. Sebagian besar waktuku tercurah buat Elara, bahkan kadang nyiapin sarapan buat Leo aja harus dibantu ART. Tapi bukan berarti aku enggak mau atau sempat dengar curhat kamu, meski, ya, responsnya bakal delay.
"Kadang aku kangen masa-masa pas belum nikah. Nonton di bioskop tengah malem, terus pulangnya nginep di indekos kamu. Kayaknya baru kemarin aku lihat kamu mewek berjam-jam pas mutusin Ethan." Tangannya mengelus tanganku lembut. "Telingaku masih bersedia denger unek-unek kamu."
Celotehan Ghina seketika membawaku ke hari-hari saat kami menghabiskan waktu bersama. Kami berbagi tangis dan tawa; menyaksikan momen-momen penting dalam berbagai fase kehidupan. Ketakutanku akan 'kehilangan' Ghina sebagai teman tak dipungkiri membuatku sungkan curhat, tetapi kata-katanya tadi berhasil mengusir keraguanku.
"Salah satu alasanku pindah indekos adalah... karena Aries bakal pergi ke Italia bersama ayahnya. Sebentar, sih, sekitar dua atau tiga bulan, tapi-" Tatapan selidik Ghina membuatku memikirkan kata-kata berikutnya. "Umh, ya, aku minta kepastian sama Aries. Belum ada tanggapan sampai sekarang dan aku cemas dia tertekan."
"Oooh, ternyata kalian emang seserius itu, ya? Waktu Leo cerita Aries naksir sama kamu, aku enggak nyangka bakal jalan sejauh ini." Serta-merta aku berharap lantai yang kududuki mengisap tubuhku. Namun, ekspresi usil Ghina yang berangsur melembut membuat perhatianku bertahan. "Aku asumsikan kamu tahu latar belakang Aries sampai dia belum kasih respons buat kamu."
Aku mengangguk. "I'll take every risk too, Ghina."
"Berarti, kamu harus percaya sama Aries. Tunggu sampai dia akhirnya mengambil keputusan yang enggak merugikan kalian," Ghina melanjutkan. "Tapi kalau menurutmu dia terlalu lama gantung kepastian, bicarakan. Bikin dia nyaman dan enggak semakin tertekan. Dia, kan, baru beresin masalah besar juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Notes On A Plate
Romance[Sebelumnya berjudul "The Playlist"] "Kenapa playlist-nya? Kenapa musik latar bukan opini tentang desain interior atau seragam waiter yang harus jadi ciri khas review-mu?" Bagi Winona, musik memberikan dampak besar pada kehidupan manusia, termasuk s...