PERNAH merasakan sensasi jatuh dari ketinggian saat tidur?
Namanya hypnic jerk. Aku kadang mengalaminya saat ketiduran atau stres dikejar deadline. Dari beberapa artikel yang kubaca, hypnic jerk terjadi saat kita memasuki fase mimpi. Lalu sentakan yang dirasakan saat terbangun muncul karena tubuh terlampau lelah, sampai-sampai tidak bisa melewati tahap tidur normal.
Setelah terjaga, aku biasanya melanjutkan tidur. Pada malam-malam lainnya, aku termenung memikirkan pekerjaan atau nasibku. Sentakan dari hypnic jerk tadi menjadi pengingat bahwa ada kenyataan yang lebih berat daripada merasakan sensasi terjatuh dari alam bawah sadarku.
Sama seperti yang kuhadapi sekarang.
Di samping kananku, Aries duduk dengan wajah tertekuk masam. Tangannya masih bersedekap sejak kami menempati meja ini; menandakan keengganannya berkunjung, tetapi dia tak punya pilihan mundur dan menghindar.
Di samping kiriku, Chef Pishgetti terus meremas ujung kemeja. Tanpa chef jacket-nya, dia terlihat seperti pria paruh baya kebanyakan. Hanya saja, aku tak merasakan kehangatan dan binar kebahagiaan seperti yang diperlihatkannya pada kunjungan pertamaku ke La Belle Luna.
Lewat ekor mata, aku mengamati Aries. Malam itu, selepas pengakuannya yang mengguncang, kami, sekali lagi, menjaga jarak. Aries sadar aku butuh waktu mencerna semuanya dan, barangkali, mengira aku membencinya.
Jujur saja, aku marah, tetapi bukan amarah yang bergolak seperti saat Ethan mengakui kesalahannya. Ada kasihan dan simpati yang mengikuti, sehingga hanya butuh satu hari bagiku untuk menyendiri.
"Kamu hampir menghancurkan karierku, Aries," kataku di tengah sesi sarapan. Bukan pembuka percakapan yang menyenangkan. "Udah berapa lama-dua bulan? Harus selama itu, ya, kamu menyembunyikan semuanya?"
"It's more complicated than you thought."
"Oke, kita selesaikan masalah ini sampai ke akar." Aku menahan diri agar emosiku tak meledak. "Let's meet your father first."
Terdengar desisan pelan dari Aries. "I'll text him."
Perjalanan ke La Belle Luna lebih panjang daripada biasanya meski kami pergi di luar jam-jam padat. Aries dan aku pun tak saling bicara; sibuk membayangkan skenario yang akan terjadi setibanya di restoran. Ketika keluar dari mobil, aku menatap punggung Aries yang berjalan mendahuluiku.
Mendadak, aku takut. Takut hari-hari yang kami habiskan sebelumnya ternyata sekadar mimpi.
*
"Jadi, Chef Pishgetti-"
"Lucio, nama asliku Lucio."
Di taman belakang La Belle Luna, Aries memberikan kesempatan bagiku bicara empat mata dengan Lucio. Ketegangan yang membelenggu kami berangsur menghilang, tetapi pria di hadapanku belum berani menatapku langsung.
Di sisi lain, aku hanya punya dua jam mengulik informasi dari Lucio. Cerita dari sudut pandangnya bakal membantuku mengambil langkah selanjutnya. Sebaiknya dia bersikap kooperatif atau reputasi kami semua memburuk.
"Barangkali Aries sudah menjelaskan maksud kedatangan kami ke ke sini. Terkait cerita tentang mendiang istri dan anak Anda." Aku ikut canggung karena tiba-tiba serbaformal demi membahas topik ini.
"Saya tahu cerita ini bersifat pribadi, tetapi Anda memutuskan membagikan semuanya ke ranah publik lewat saya dan rekan reviewer lain. Kalau yang Aries katakan benar, apakah kami secara tak langsung menyampaikan kisah fiktif?"
Kepala Lucio terus merunduk. Pundaknya tanpak gemetaran dan membuatku agak panik. Memandang sebuah peristiwa dari sudut pandang objektif kadang memicu dilema yang berujung pada stres berkepanjangan. Di sisi lain, aku harus profesional.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Notes On A Plate
Romance[Sebelumnya berjudul "The Playlist"] "Kenapa playlist-nya? Kenapa musik latar bukan opini tentang desain interior atau seragam waiter yang harus jadi ciri khas review-mu?" Bagi Winona, musik memberikan dampak besar pada kehidupan manusia, termasuk s...