track 34: Elara

116 20 0
                                    

ELARA lahir pukul 8 malam lewat 12 menit.

*

Ketika tangis Elara pecah, sekujur tubuhku seketika lemas, lalu bergetar hebat. I don't even know what my feelings are doing. Aku melihat kebahagiaan dari raut ibu Ghina dan kakak perempuan Leo yang menunggu di luar ruangan bersamaku. Ibu Ghina menggumamkan doa dan syukur, sementara kakak perempuan Leo duduk di sampingku sambil mengumpulkan kesadaran di antara air matanya, seperti aku.

Waktu yang awalnya terasa melambat, dan berhenti saat tangis bayi itu terdengar, perlahan berjalan ke ritme normal. Sekitar setengah jam kemudian, aku mempersilakan kerabat keluarga masuk terlebih dahulu. Aku masih butuh banyak waktu sampai emosiku kembali stabil. Lega? Tentu saja, tapi lebih dari itu... aku beryukur Ghina diberi kekuatan menghadapi proses persalinan di dalam; bertaruh di antara hidup dan matinya.

Sepuluh menut berlalu, pintu ruangan terbuka. Ibu Ghina dan kakak perempuan Leo keluar dengan mata berkaca-kaca, tapi bibir mereka terus merekahkan senyum yang membuatku ikut bahagia. Leo lalu muncul di ambang pintu dan mengisyaratkanku masuk.

"Aku ke toilet dulu sebentar," kata Leo sebelum meninggalkan ruangan. Aku hampir mengira dia tampak kuat kalau tidak melihat matanya yang kemerahan.

Alih-alih menghampiri Ghina, aku malah bergeming memegangi handle pintu dan membelakanginya. Mungkin aku akan terus terpaku kalau dia tidak memanggil.

"Kamu ngapain di sana, Ino?" tanyanya, setengah berbisik. "Kamu enggak mau ketemu Elara?"

"Elara?" kataku, membeo. Ketika menoleh ke belakang, tatapanku terpusat kepada sosok bayi mungil yang menelungkup di dada Ghina. Sementara sahabatku, meski terlihat letih dan butuh istirahat banyak, mengembangkan senyum lebar; menguatkan pancarannya sebagai ibu baru.

"Ghina-" Sekuat tenaga, kutahan desakan air yang siap membobol kelopak mata. Kemudian, aku mengambil kursi dan duduk di samping ranjang. "You did it."

Ketika Ghina mengelus pundakku, pertahananku bobol. Kututup sebagian wajahku dengan handuk agar Elara tidak terbangun. Ghina memperlambat elusan tangannya sebelum menariknya dan meletakannya di punggung Elara.

Setelah tangisku mereda, aku menghela napas panjang dan menatap Ghina lekat-lekat. "Aku enggak nyangka kamu pakai nama yang aku kasih. Leo gimana?"

"Leo enggak keberatan selama nama keluarganya dipakai buat nama belakang Elara." Kemudian, setelah memastikan Elara terlelap, Ghina melanjutkan, "Aku disuruh istirahat sama dokter, tapi aku mau mastiin kamu baik-baik aja."

"As you see, I'm fine."

Wajahnya merengut. "Bukan, ini soal... kamu dan Aries. Umh, atau La Belle Luna? Leo cerita semalam selepas Aries telepon. Aku enggak nyangka ada masalah sebesar itu yang muncul dari review-mu. Tapi, tenang, kamu enggak akan dipecat."

"Leo juga bilang gitu tadi." Aku lega mendengar YummyFood tak bakal mendepakku. "Cuma, gimana sama statusku sebagai freelancer? Apa promosiku ditunda atau ada pertimbangan lain?"

Menangkap kelelahan di wajah Ghina, aku jadi tak enak membahas pekerjaan. Kendati begitu, dia tetap meneruskan pembahasannya. "Performa kamu bagus, bahkan managing editor bilang trafik blog naik berkat tulisanmu. Aku yakin kamu enggak bakal disingkirkan. Berdoa aja, Ino."

"Sorry, ya, malah bahas kerjaan beres kamu melahirkan."

Ghina terkikik. "Emang kamu mau bahas apa? Hubunganmu sama Aries?"

"Ghina-"

"Stop, stop, aku serius. Kamu suka sama Aries?"

"Pertanyaan kamu kayak bocah SMA, deh."

"Ino, iiiih." Kami tak bisa tergelak lepas mengingat Elara baru tertidur. "Ya, apa pun yang sedang kalian berdua jalani, semoga jadi yang terbaik. Tapi nanti kalian harus tinggal terpisah begitu resmi pacaran."

Astaga, Ghina berpikir sampai sejauh itu. Namun, perkataannya benar. "Aku berencana cari indekos baru begitu YummyFood tarik posisiku ke karyawan tetap."

"Syukurlah, aku bakal bantu supaya prosesnya lancar."

"Trims, Ghina, you've done so much for me."

"Harusnya aku yang bilang terima kasih." Ghina menepuk punggungku. "Kalau bukan karena permintaan dan dampingan kamu, mustahil persalinanku bisa selancar ini. Dokter bilang kami sama-sama sehat."

Permintaan yang dimaksud adalah menemaninya sejak hamil sampai melahirkan. Memastikan Ghina dan anaknya sama-sama selamat. Ghina mungkin akan menganggap permintaanku sederhana dan mudah diwujudkan sebelum dia tahu penyebabnya.

Ibuku meninggal beberapa jam setelah aku lahir akibat pendarahan.

Ayah tidak cerita banyak tentang penyebabnya, tapi dia pernah berpesan suatu hari nanti saat aku menikah dan hamil, aku harus rajin konsultasi ke dokter. Aku hampir melupakan pesan tadi sampai Ghina menyampaikan kabar gembira tentang kehamilannya.

Aku, yang hanya pernah 'berinteraksi' dengan ibu kandungku selama sembilan bulan, tidak mau Ghina sampai mengalami hal serupa. Sejak awal aku merasa Ghina akan menjadi seorang ibu yang baik, karena kadang dia bertingkah seperti seorang ibu daripada sahabatku.

Makanya aku ingin Ghina dan anaknya selamat di hari persalinan.

Kami segera menghentikan obrolan saat mendengar celoteh singkat dari Elara. Sepertinya aku harus keluar dan memberi waktu ibu-anak bagi mereka berdua. Aku beranjak dari kursi, lalu merangkul Ghina sejenak. "Take a rest."

"You too. Ketemu lagi di rumah, ya, kalau keluargaku udah pada pulang," katanya sebelum aku menutup pintu Selepas memastikan Ghina dan Elara dalam keadaan yang sehat dan selamat, sebagian bebanku seperti terangkat; membuat tubuhku terasa lebih ringan. Aku menunggu sebentar sampai Leo kembali dengan wajah yang lebih segar, lalu pamit meninggalkan rumah sakit.

Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Situasi di sekitar Jalan Riau terlihat lengang, mengingat sekarang bukan akhir pekan. Aku ingin istirahat dan tidur gara-gara tenagaku yang terkuras sejak pagi. Jemariku sudah siap menekan nomor telepon Aries, tetapi urung saat mengingat perselisihan kami.

Lantas, aku menaruh ponsel di dalam tas dan menghentikan angkot yang melintas di depan rumah sakit.

***

Our Notes On A PlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang