track 28: Traitor

121 21 1
                                    

HARI-hari berikutnya begitu... canggung.

No, that wasn't my first kiss. Aku biasanya melakukan kontak fisik sedekat itu saat sudah resmi pacaran. Jadi, ya, walau aku paham Aries tak bermaksud membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih serius, sebagian dari diriku terus dihantui rasa penasaran.

Sayangnya, kami sama-sama memilih melupakannya selepas malam itu.

Pekerjaan Aries di dapur dan jadwalku meliput membantu kami, atau barangkali hanya aku, saling menghindar. Obrolan kami pun diisi basa-basi seperti sudah sarapan? atau mau makan malam apa? Selebihnya, kami sibuk mengurus masing-masing kegiatan dan beristirahat.

Seperti hari ini, misalnya, Aries hanya mengabariku akan ada kru televisi yang syuting bersama seorang celebrity chef di No. 46. Aku berencana kelayapan di pusat kota selagi tak ada tugas meliput.

Kukenakan oversized blazer dan membawa sneaker keluar kamar, lalu menuruni tangga samping kala mendapati Aries memunggungiku bersama seorang perempuan berambut panjang di sampingnya. Keduanya terlihat berbincang akrab sembari mengamati kru televisi yang tengah menata tempat syuting.

Siang itu, Aries mengenakan hoodie berwarna beige dengan celana denim selutut, sementara tamunya tampak manis dalam balutan summer dress bermotif bunga. Aku bisa saja mengira mereka pasangan kekasih.

Heh.

Kujatuhkan sneaker ke lantai, lalu kususupkan kaki dan melemaskannya sampai terasa nyaman. Cepat-cepat, aku bergegas meninggalkan No. 46, tetapi Aries menyadari kehadiranku di sana.

"Ada liputan hari ini, Winona?"

Langkahku terhenti di gerbang. Aries bukan cuma menyapa, dia menghampiriku. "Kamu bisa pakai mobilku kalau mau."

"Enggak usah. Hari ini aku mau jalan kaki, sekalian belanja stok makanan." Dari ekor mata, aku mengecek tamu Aries. Sial, dia sudah masuk ke No. 46. "Good luck for today, anyway. Kayaknya bakal sibuk banget."

"Iya, syuting hari ini bakal tayang di stasiun televisi nasional. Kamu pernah lihat chef-nya? Dia juri tamu di kontes memasak yang lagi booming."

"I'm not really familiar with cooking contest," sahutku. "Gotta go now."

Tidak sampai setengah perjalanan, aku naik angkot untuk menyelamatkan diri dari cuaca panas. Ini kali pertama matahari berhasil bertahan sampai melewati jam makan siang, tanda musim hujan akan menemui hari-hari terakhirnya. Sesampainya di supermarket, aku menelusuri rak demi rak dengan pikiran tak menentu.

This is so annoying, kenapa dari tadi aku membayangkan Aries dan tamunya itu? Apa karena Aries bersikap akrab, sesuatu yang jarang kulihat darinya. Mungkin mereka teman lama dan dipertemukan lagi-entahlah. Aku menggeleng keras; berusaha mengusir pikiran-pikiran aneh yang terus berdatangan.

"Mau bikin sushi hari ini?"

Aku tak sadar sudah berjalan sampai ke area daging dan ikan segar. Namun, suara itu bukan berasal dari penjual yang sedang membersihkan seekor tuna. Di depanku, Ethan berdiri; tersenyum kaku dengan keranjang yang terisi penuh.

*

Kami mampir ke restoran fast food di samping supermarket; memesan paket makan siang yang menyenyangkan. Kendati tak semarah seperti saat kali terakhir kami bertemu, aku belum siap berhadapan dengan Ethan.

Khususnya, ya, setelah apa yang terjadi denganku dan Aries.

"Selagi kita di sini," Ethan berdeham, "aku, sekali lagi, minta maaf atas kejadian di kedai ramen, terutama sikap lancangku yang bikin kamu tidak nyaman."

"Aku juga, Ethan, sori kalau kemarin sikapku terlalu kasar."

Kami terdiam lagi beberapa detik sebelum Ethan meneruskan, "Wine, ingat waktu kamu mengajakku bertemu mendiang ayahmu?"

Sekonyong-koyong, ingatanku terbang ke hari itu; pertemuan tatap muka antara ayahku dengan Ethan. Saat mendengar Ayah ingin mengobrol dengan Ethan, aku senang dan berharap banyak hal. Akan tetapi, ekspresi keras yang ditunjukkan mereka berdua selepas percakapan empat mata sore itu meninggalkan tanda tanya besar buatku sampai sekarang.

Selepas pertemuan itu pula, Ethan perlahan menjaga jarak dariku.

"Beberapa hari belakangan, aku memikirkan obrolan itu." Lawan bicaraku meringis. "Aku sengaja menunggu momen tepat mendiskusikannya denganmu, tetapi ayahmu lalu jatuh sakit. Jarak yang telanjur kubuat semakin memperkeruh semuanya dan aku... malah memanfaatkannya."

Mataku memicing. "Apa maksudmu?"

"Ayahmu tidak menyukai pekerjaanku dan keberatan dengan hubungan kita."

Tanganku meremas kap kola yang masih penuh. "Why you never told me? Kenapa harus menunggu selama itu?"

Ethan mengambil jeda. Matanya berkali-kali bergerak ke segala arah sebelum beradu pandang denganku. "Karena di satu sisi, aku tersinggung. Ayahmu menganggap freelancer tak bisa menghidupi kebutuhan kita berdua... seandainya kita menikah. Di sisi lain, aku tak mau menyakiti perasaanmu dan memicu perselisihan.

"Waktu kamu sibuk merawat ayahmu, aku pikir, mungkin hubungan kita yang renggang akan memudahkannya berakhir lebih cepat. Aku terlalu pengecut untuk bicara langsung denganmu, karena ayahmu pasti akan semakin yakin aku bukan sosok pendamping yang tepat."

Kepalaku sudah terlalu sesak menyimak penjelasannya. "Kamu-kamu sengaja membiarkan hubungan kita karam? Semuanya karena ucapan ayahku? Oh, Ethan...."

"Maaf, maafkan aku, Wine."

"Jangan bilang kamu juga sengaja menciptakan kesan dekat dengan solois perempuan itu supaya aku-" Kusandarkan punggungku ke dinding. "I can't believe you set it up. I can't believe you blamed my father."

"Aku tidak menyalahkan ayahmu-"

"You did," potongku cepat. "Kalau emang kamu serius denganku, kalau kamu mencintaiku, kamu enggak akan menyerah secepat itu. Kamu tahu seperti apa hubunganku dengan Ayah, termasuk pandangannya terhadap pekerjaanku. Apa aku langsung menyerah? Enggak, Ethan. I proved him wrong. And later I found out he actually cared.

"Kamu-you're unbelieveable." Kupelankan suaraku yang mulai menarik perhatian pengunjung lain. "I'd rather believe you cheated on me."

Ethan menunggu sampai tak ada yang menguping pembicaraan kami untuk merespons, "Kamu berhak marah dan aku menyesal sudah berbulan-bulan menyimpan rahasia ini. Makanya aku memutuskan cerita sebelum pergi ke Rusia."

"Emangnya kalau cerita lebih awal, apa kamu bakal berubah pikiran dan memperjuangkan hubungan kita?"

Pertanyaan itu kubiarkan tak terjawab. Toh tetap tak akan memperbaiki kesalahan di masa lalu, bukan? Di tengah kecamuk amarah dan penyesalan, aku berjalan keluar dari restoran; membiarkan Ethan memikirkan semua tindakan yang seharusnya bisa kami atasi sebelum bencana datang.

***

Our Notes On A PlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang