track 27: Confusion

117 24 0
                                    

"KAMU kasih aku uang, tapi malah membayar pesananku di restoran Italia?" Kutaruh uang pemberian Aries di dasbor. "I couldn't even be petty to you."

"Pizanya enak?" katanya, mengabaikanku yang senewen.

"Harusnya kamu masuk tadi dan mencobanya bersamaku." Jam digital di dasbor menunjukkan pukul delapan malam. "Siapa yang jaga No. 46?"

Aries menggeleng. "Tutup lebih awal."

"Demi menjemputku?"

"Aku punya urusan lebih serius ketimbang menjemput ratu drama sepertimu."

Excuse me?

Aku malas meneruskan percakapan ini. Kusumpal telingaku dengan earphone dan mendengarkan playlist favoritku di sisa perjalanan. Namun, sesampainya di No. 46, Aries tak keluar mobil untuk membuka gerbang. Dia membuka jendela dan membiarkan angin malam masuk ke kabin.

"We need to talk."

Jantungku berdegup tak keruan mendengarnya. Mediang ayahku bahkan tak pernah mengeluarkan kata-kata itu saat kami harus membahas topik serius.

"Maaf atas sikapku tadi pagi, Winona. That was rude, you're my guest." Jemarinya menggenggam erat kemudi. "Sejujurnya aku bingung, sangat bingung belakangan ini. Semua yang kurencanakan malah keluar jalur dan sudah terlambat bagiku kembali di titik awal."

Tanganku meremas seatbelt perlahan. "Rencana? Rencana apa?"

Aries menggeleng; berusaha menghindari kontak mata denganku. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana menjelaskannya tanpa menyinggung perasaanmu."

"Wow, you planned to hurt me or something?"

"Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja, aku sendiri tidak menduga bakal berjalan sejauh ini. Ada-" Dia menarik napas panjang. "Ada hal-hal yang berusaha kutampik, tetapi malah semakin mencekikku."

"Kedengarannya buruk."

Tawa hambarnya mengejutkanku. Panik? Bingung? Semakin sulit ditebak. Sambil mengusap wajahnya, Aries menggumamkan sesuatu. Sikapnya benar-benar berbeda dari kesan cool dan tegas yang aku saksikan saat mode chef-nya aktif.

"Aku enggak janji bakal memberikan respons menyenangkan, Aries, but just say it. Or keep it if you're still not ready-"

"I can' hold this any longer. Bisa-bisa aku meledak," sahutnya cepat. Mata Aries tertambat lurus ke depan sebelum mengunci tatapannya denganku dan mengucapkan,

"Winona, aku tertarik padamu."

Oh.

Ini adalah satu menit terlama yang pernah kulalui. Tak ada yang bergerak sampai aku bisa mendengar deru napas dan detak jantungku. Tertarik, katanya, in what terms? Apakah ucapan Aries semacam deklarasi perasaan atau pernyataan yang tersembunyi?

"Should've kept it to myself, I guess," gumam Aries; memecah keheningan. Kemudian, aku mendengar bunyi klik pelan. "Kalau kamu mau masuk duluan, silakan. Aku akan jalan-jalan sebentar."

"Enggak, enggak, tunggu. Aku mau dengar penjelasanmu." Dengan cepat, aku menahan tangannya dari kemudi. "Tertarik seperti apa, Aries? Mengenalku atau yang lain? Ucapanmu tadi terdengar ambigu buatku."

"Kita bicarakan kali lain saja-"

"No, how dare you! Kamu udah menggantung banyak pertanyaan buatku, I've had enough. Soal musik latar, kebohongan besar dalam tulisanku, sekarang-"

"Winona, do you understand how frustrating it is when I have to tell myself to not kiss you right now?"

Refleks, kulepas tanganku dari Aries. Secepat itu pula, Aries melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Aku menyusul, mengekorinya berjalan ke ujung jalan di tengah penerangan remang.

"Tinggalkan aku sendiri," pinta Aries tanpa menatapku. "I can't even stare at you in the same way."

Langkahku melambat. Sekeras apa pun aku berusaha meneruskan percakapan, Aries sepertinya tetap enggan meladeni. "Fine, aku bakal kembali ke mobil. Tapi, aku juga mau bilang aku paham maksud ucapanmu tadi. And no, you didn't sound creepy."

Sepuluh menit. Dua puluh menit. Satu jam. Playlist-ku memutar lagu di track pembuka untuk kali kedua; menandakan aku sudah menunggu Aries kurang lebih 60 menit di kursi penumpang dengan pintu terbuka. Tubuhku lelah, tetapi pikiranku terus berkecamuk.

Benarkah Aries tertarik seperti itu kepadaku? Apa ada perasaan juga yang terlibat? Dari sikapnya, Aries bertingkah seperti seseorang yang sudah lama tak berhadapan dengan situasi ini. Barangkali ada trauma atau pengalaman kurang menyenangkan yang dia alami di masa lalu yang membuatnya kebingungan.

Ujung jemari kaki dan tanganku terus mendingin. Gemuruh yang samar terdengar menandakan hujan akan turun. Sebaiknya aku masuk saja dan menunggu di dalam. Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, kubuka gerbang untuk memasukkan mobil. Syukurnya Aries meninggalkan kunci di dasbor, jadi aku bisa memarkirkannya.

Namun, sebelum sempat menyalakan mesin, mataku menangkap sosok Aries muncul dari ujung jalan tempat kami masuk ke area ini. Dari balik kacamatanya, dia menambatkan pandangannya padaku. Lantas aku keluar, berdiri di samping pintu sampai Aries berhenti beberapa langkah dari posisiku.

"Boleh aku meminta sesuatu?" Entah mengapa, aku tahu ke arah mana Aries akan membawa pertanyaan ini. "Kalau kamu keberatan, jangan sungkan menolaknya."

Aku mengangguk mantap.

Aries melepaskan napas panjang. "Can I kiss you for once?"

Aku tak ingat bagaimana aku menanggapi permintaan Aries. Karena pada detik-detik berikutnya, memoriku hanya merekam saat tangan kami bersentuhan dan bibirnya menyapu lembut pipiku. Sejenak, kami bertukar pandang, lalu Aries kembali menunduk untuk memagut bibir bawahku.

Di bawah temaram lampu jalan dan dinginnya malam, kubiarkan diriku tenggelam dalam sentuhan dan kecupan yang pelan-pelan menghangatkan tubuh. Ketika Aries menyandarkan tubuhku ke mobil, tetes-tetes hujan berjatuhan. Kami menengadah, lalu bersitatap; menyadari bahwa kami perlu berhenti.

Aku tak tahu apa Aries masih bingung dengan perasaannya. Satu hal yang pasti, dia tak sendiri, karena aku juga tak tahu harus menyikapi hubungan kami sekarang.

***

Our Notes On A PlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang