track 21: Tentang Awug

112 22 0
                                    

ANOTHER wedding chapter.

Kalau bukan permintaan teman baik semasa kuliah, mana mau aku repot pakai dress selutut dengan heels lima sentimeter. Lima sentimeter saja sudah menyiksa kakiku yang terbiasa memakai sneaker atau sandal. Sayangnya, posisiku kali ini adalah bridemaid. Tak ada kesempatan memakai pakaian bebas yang santai.

Kabar baiknya, aku hari ini tak meliput dan ada Ghina yang menemani.

"If it's not for Tamia...." Aku belum pernah sebahagia ini melihat mobil Ghina. Selepas makan dan foto bersama, aku dan Ghina bergegas ke tempat parkir. Usia kehamilan Ghina yang memasuki bulan kedelapan membuatnya ekstra hati-hati saat beraktivitas di luar ruangan. Dia juga jadi satu-satunya bridemaid yang diizinkan memakai flat shoes.

Sebelum membawa mobil ke luar area parkir, aku dan Ghina mengenakan sandal yang kami simpan di bangku belakang. Desahan lega yang keluar dari bibirku mengundang kekehan darinya. "Sekali-kali pakai dress sama heels, Ino. Tapi kamu cantik banget hari ini, aku sampai pangling."

Harus kuakui lilac dress dengan sentuhan warna putih para bridemaids tampak memukau. Ringan juga berkat kain sifon dan sutranya. Hanya saja, aku kurang menyukai bagian pundaknya yang terbuka. "Setidaknya aku bisa pakai dress ini buat ke kondangan lain."

"Rambut kamu juga. Dari awal kenal, potongannya enggak pernah lewat bahu."Tangan Ghina menyentuh gelungan rambutku yang dihiasi bunga-bunga kecil berwarna biru. "Kamu bisa aja pilih salah satu groomsmen yang terang-terangan pengin kenalan tadi."

"Bumil, ayo kita pulang," potongku cepat setelah membayar tiket parkir. "Mau langsung ke rumah?"

Ghina sedang membalas pesan penting sebelum menjawab pertanyaanku. "Rumah sakit dulu, ya. Mau periksa kandungan. Leo udah di sana."

*

Pemeriksaan kali ini berlangsung lebih lama, jadi aku pamit duluan pada Ghina. Leo sempat menawarkan tumpangan, tapi aku cepat-cepat menolak. Membayangkan Ghina menginterogasiku begitu tahu aku tinggal seatap dengan Aries bikin kepalaku pusing.

Setelah membasuh kaki dan memastikan lecet, aku segera meninggalkan rumah sakit. Sial, aku lupa bawa jaket. Memakai dress dengan pundak terekspos saat langit mulai mendung berpotensi bikin aku sakit. Taksi bisa jadi penyelamat kalau saja jarak ke No. 46 lebih jauh. Begitu masuk angkot yang cukup lengang, aku mengambil ponsel untuk mengecek pesan.

Lima pesan dari Aries? Tumben dia mengirim sebanyak ini.

[Aries] Aku lupa bilang hari ini No. 46 akan dipakai kru tv dari Jakarta.

[Aries] Aku akan di luar seharian.

[Aries] Kamu di mana?

[Aries] Kasih tahu begitu acaranya sudah selesai.

[Aries] Hei.

Salah satu sudut bibirku terangkat. Sepanik itukah dia?

[Winona] Lagi di jalan. Aku ke tempatmu aja.

Sekitar dua menit kemudian, Aries membalas pesanku dengan nama kedai kopi di mal yang pernah kami kunjungi tempo hari. Lumayan jauh dari sini. Semoga aku sampai sebelum hujan turun.

*

Mengabaikan komentar negatif di review lebih mudah ketimbang menghadapi lirikan orang-orang yang berpapasan denganku di sepanjang jalan. Aku menyesal meninggalkan kardiganku di kamar. Mendadak saja lokasi kedai kopi di mal tersembuyi dari padanganku. Seakan belum berhenti, penderitaanku berlanjut kala mendapati antrean yang mengular sampai ke depat pintu masuk.

Calm down. Cari Aries dulu.

Menemukan Aries bukan hal sulit. Posturnya yang tinggi dengan punggung tegap adalah petunjuk utama yang memudahkanku menelusuri keberadaannya di tengah kepadatan kafe. Saat menangkap baseball jacket tersampir di punggung kursi, aku diam-diam merapalkan syukur; seakan-akan baru diselamatkan malaikat.

"Hei." Kutaruh sling bag dan duduk di samping Aries. Di bawah meja, ada dua tote bag berisi penganan tradisional. Sepertinya dia pengin ngemil banyak di rumah. "Boleh aku pinjam jaketmu?"

Lewat satu lirikan, Aries menyadari situasiku dan menyerahkan baseball jacket-nya tanpa banyak tanya.

"Trims. Be right back," kataku setelah membawa dompet dan bergabung dengan antrean terdekat.

*

Aku membeli red velvet sebagai ucapan terima kasih untuk Aries. Dia awalnya keberatan, tetapi akhirnya menerima setelah aku menceritakan penderitaanku yang berakhir berkat baseball jacket-nya.

"Kenapa kamu tidak bawa pakaian ganti?" tanya Aries.

"Enggak kepikiran. Buru-buru banget tadi pagi." Dari jendela, orang-orang berlarian ke teras kedai kopi. Beberapa tetes air membasahi kaca dan secara cepat menyebar begitu hujan menderas. "Ghina ke rumah sakit, jadi aku batal pinjam jaketnyaa."

Aries hanya bergumam, lalu menyantap red velvet. Sementara aku menyesap coffee latte dan mengalihkan pandangan pada tote bag berisi penganan tradisional. "Kamu mau bikin menu baru buat camilan?"

"Hm?" Aries mengerling ke salah satu tote bag-nya yang sudah pindah ke pangkuanku. "Bukan, itu buat kru televisi di No. 46. Mereka mau coba contoh penganan tradisional yang masih segar."

Di dalam tote bag itu aku menemukan berbagai jenis kue basah seperti putri selat, kue lapis, dan bika ambon. Ada juga getuk beragam warna dan klepon. Namun, perhatianku tersedot seluruhnya pada penganan berbentuk kerucut mini. Serta-merta, aku mengeluarkannya dan menekan sedikit pembungkusnya. "Awug?"

"Itu dari penjual awug langgananku," sahut Aries. "Pernah coba?"

Bukannya menjawab, aku sibuk mengamati bungkusan segitiga berwarna hijau dalam genggamanku. Sudah berapa lama aku absen melakukan ritual itu? Rasanya seperti selamanya. Setelah sekian bulan absen menyentuh awug, keinginan mencicipinya tanpa terbawa perasaan tiba-tiba muncul.

Sayang, awug ini bukan punyaku.

"Camilan favoritku sejak kecil," sahutku sambil menaruhnya lagi ke dalam tote bag. "Dulu ayah suka bikin setiap dua kali seminggu. Bahkan aku tidak pernah bosan makan awugnya sampai duduk di bangku kuliah."

Aries menyodorkan separuh red velvet-nya padaku. "Dia berhenti membuatnya sekarang?"

"Lebih tepatnya terpaksa berhenti bikin." Aku menghela napas panjang. "Ayah meninggal tahun lalu."

Aku sempat mendengar Aries mengumpat sebentar. "Maaf."

"Nevermind." Kuambil garpu bersih untuk menyantap red velvet pemberian Aries. "Saat sudah siap, aku akan mulai belajar membuatnya."

*

Kalian pikir aku mulai terbiasa menghadapi Aries? Dugaan itu tidak sepenuhnya salah. He's just unpredictable sometimes. Seperti pagi ini, setelah mengira aku kerasan tinggal serumah dengannya, dia kembali membuatku bertanya-tanya.

Saat hendak menyiapkan sarapan di pantry, aku dikejutkan dengan sepiring awug mini yang ditata di meja. Tidak ada Aries di sana, tapi dia meninggalkan pesan pada sticky notes berwarna biru.

Rasanya barangkali tak sama dengan buatan ayahmu, tapi semoga bisa mengobati kangenmu.

***

Our Notes On A PlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang