Chapter 14 - Krisis

25 3 0
                                    

Demam Arief turun keesokan harinya. Laki-laki itu sudah merapikan kasur dan membersihkan diri saat Mentari terbangun. "Coba sini kucek lagi temperatur badanmu," ucap Mentari sambil menempelkan telapak tangannya pada dahi dan berpindah ke leher laki-laki itu. "Aku ambilin termometer dulu ya!"

Saat Mentari meleng dari Arief, tanpa wanita itu sadari, kedua telinga Arief memerah. Laki-laki itu mengerutkan keningnya sambil menatap punggung wanita itu. Dia memang sudah mendapatkan kembali kesadarannya sejak kemarin. Namun, dia sengaja tidak memberitahu Mentari. Dia ingin tahu bagaimana wanita itu berinteraksi saat dia menjadi dirinya yang lain.

"Taruh ini di ketiakmu," ucap Mentari. Sambil menunggu hasil temperatur, dia membuka kulkas lalu mengeluarkan dua butir telur, roti tawar, dan selai srikaya. Dia menaruhnya di meja kemudian mengambil piring dari lemari. Sesudah membuat roti lapis dengan selai srikaya itu, dia memasukkannya ke dalam air fryer. Sementara itu, kompor untuk memanaskan telur dia matikan dan mulai memecahkan isinya ke dalam mangkuk. Telur encer setengah matang itu dia beri taburan lada. Tak lama, roti srikaya sudah matang dan berubah krispi. Mentari segera meletakkannya ke atas piring. Kemudian dia memanggil Arief untuk datang ke meja makan.

"Cara memakannya seperti ini," ujar Mentari mempraktekkan saat dia menyobek sedikit roti srikayanya kemudian mencelupkannya ke mangkuk berisi adukan telur tadi sebelum memakannya. Dia mengunyah rotinya dengan ekspresi bahagia. "Ayo, dicoba!"

Arief menurut dan melakukan seperti yang Mentari contohkan. Kedua matanya membelalak ketika makanan itu masuk ke dalam mulutnya. Tidak ada rasa amis telur. Entah mengapa rasanya begitu lumer di dalam mulutnya. "Ini enak!" serunya setelah menelan potongan pertama.

"Syukurlah kamu suka!" kata Mentari riang. Dia hanya mengambil satu lembar roti lapis, sedangkan tiga lembar lainnya dia taruh di piring Arief.

"Kamu hanya makan segitu?" tanya Arief dengan sebelah alis terangkat.

"Aku lebih suka membuatmu makan banyak! Walau nanti kamu lebih chubby dari yang sekarang pun aku tetap akan melihat ke arahmu," jawab wanita itu dengan senyuman lebar.

Mendengar itu, Arief langsung tertawa kaku. Kemudian dia meraba bagian perutnya. Sepertinya otot sixpacknya masih aman. Kemudian tatapannya kembali ke arah Mentari lagi. Wanita ini terlihat lebih santai. Sangat berbeda jauh dari pertemuan mereka saat di kantor. Jika dia tahu aku sudah mendapatkan kesadaranku kembali, apakah dia akan bersikap sesantai ini juga?

"Oh iya! Kemarin aku sudah membawakan beberapa pasang bajumu. Aku menaruhnya di dekat tempat tidur," kata Mentari.

"Terima kasih, nanti aku akan mengeceknya," ujar Arief sambil meneruskan sarapannya.

"Setelah selesai makan, aku akan memberitahu sebuah info penting," ucap Mentari, kali ini ekspresinya berubah sendu. "Makanlah, selagi aku bersiap-siap pergi ke kantor." Wanita itu beranjak dari kursi meja makan kemudian mengambil beberapa potong pakaian dari lemari. Sesudah itu, dia menghilang di balik pintu kamar mandi.

Arief sedikit memiringkan kepalanya. Info penting? Apa itu berkaitan dengan alasannya berada di kos-kosan Mentari saat ini? Arief menduga-duga dalam hatinya. Roti selai di atas piring kandas tak bersisa, bahkan telur setengah matang pun ludes tak berbekas. Arief mengelus pelan perutnya. Benar-benar kenyang dan nikmat. Dia tak menyangka hidangan sesimple itu bisa terasa sangat enak.

Sesudah itu, dia membawa piring-piring kosong ke bak cuci dapur. Pelan-pelan dia mencuci semua perabotan dan menjemurnya di jemuran piring yang tersedia di sana. Sesudah memastikan semuanya bersih, Arief berjalan ke samping kasur. Di lantai, sebuah tas jinjing dengan ukuran lima puluh kali lima puluh centi berwarna hitam tergeletak. Laki-laki itu membuka risleting tas dan mulai mengeluarkan isinya.

The Secretary and The Janitor (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang