"Sudah puas tertawa?" decak Mentari.
Sisa-sisa tawa Arief masih terdengar ketika wanita itu memalingkan wajahnya ke samping. Dia merasa Arief betul-betul menyebalkan! Ya, memang dia sengaja memanfaatkan Arief karena sudah meminta pria itu tinggal bersamanya. Tentunya setelah melihat kondisi dan situasi yang berpihak padanya. Tapi, untuk urusan baju, dia benar-benar tidak punya baju yang bisa muat untuk pria itu!
'Kecuali... ya kecuali, kalau Arief mau tinggal tanpa memakai apapun di kamarku!' batin wanita itu. Namun, sontak kedua pipi Mentari merona parah begitu membayangkan hal yang sedang dia pikirkan. Bahaya! Betul-betul bahaya deh!
Sementara itu, Arief memperhatikan wajah Mentari sambil tersenyum lebar. 'Imutnya,' batin pria itu. Tangan kanannya terulur lalu mengelus lembut puncak kepala wanita itu. "Ayo kita kembali. Nanti aku akan meminta bibi pengurus rumah menjaga papa di sini," ujar Arief.
"Bibi pengurus rumah?" tanya Mentari.
"Iya, di rumah utama ada bibi pengurus rumah yang sudah bekerja hampir sepuluh tahun."
Ah, rumah utama yang disebutkan mungkin adalah rumah orang tuanya. Pria itu memang tinggal terpisah dari rumah tempat Direktur Utama dan Pandu tinggal. "Tapi, itu berarti kita kembali ke kosanku?" tanya Mentari memastikan.
"Ya, jelas. Memangnya mau kemana lagi?" tanya Arief sambil sedikit memiringkan kepalanya.
"Kukira kamu ingin mencoba untuk kembali ke kantor... atau mungkin ke tempat tinggalmu..."
Arief seketika terdiam mendengar kalimat wanita yang sedang berdiri tepat di hadapannya ini. Jika itu adalah dirinya yang dulu, pasti dia lebih memilih kembali ke rumah utama. Tetapi baru sehari tinggal di tempat Mentari, membuatnya terasa berat hati untuk pergi. Entah mengapa dia merasa aman dan nyaman bersama wanita itu. Padahal dia jarang membicarakan hal lain di luar kerjaan dengan Mentari.
'Mungkin ini yang dirasakan olehnya...' Pria itu menepuk dada kirinya pelan. Sosok Arief yang lain juga merupakan bagian dari dirinya. Mungkin saja Arief yang satunya merasa bisa mengandalkan Mentari.
"Nggak. Justru di saat begini aku nggak mau ketemu dengan orang-orang itu," ucap Arief setelah terdiam cukup lama. Jadwal rapat pemegang saham saja masih belum ditentukan karena baru lewat sehari semenjak ayahnya koma. Jika dia menampilkan wajah di kantor, bukankah justru malah memperkeruh suasana?
"Aku akan mengatur strategi sebelum bertempur," lanjut pria itu sambil menarik gagang pintu kemudian keluar dari ruangan.
Melihat Arief sudah melenggang pergi, Mentari cepat-cepat menyusulnya. "Tunggu aku!"
***
Sesudah kembali ke kos untuk mengantar Arief, Mentari kembali melaju di jalan raya Jakarta Pusat. Dia masih harus mengurus pekerjaannya hari ini di kantor.
"Bu, tolong aturkan jadwal meeting untuk pak Pandu," ujar seorang staf melalui sambungan interkom.
"Baik, sudah saya cek untuk hari Selasa jadwal beliau kosong." Seperti rutinitas sehari-harinya sebagai sekretaris, Mentari selalu mengatur jadwal untuk Pandu.
Sesampai di kantor, dia mengira akan langsung bertemu dengan bosnya. Namun setelah jam pulang kantor tiba pun batang hidung bosnya sama sekali tidak terlihat. 'Aku harus memberitahukan jadwal besok lewat pesan singkat,' pikirnya sambil mulai mengetik pesan pada aplikasi di handphonenya. Baru saja wanita itu selesai mengirimkan pesan, tiba-tiba handphonenya bergetar tanda ada panggilan masuk. Melihat nama yang tertera di layarnya, kedua alisnya sedikit terangkat sebelum jarinya menggeser tombol hijau.
![](https://img.wattpad.com/cover/50355824-288-k140440.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secretary and The Janitor (Ongoing)
RomansMentari Aprilia selalu mendambakan pasangan hidup yang tidak usah terlalu neko neko. Pokoknya, yang mau menemani serta memiliki kelakuan baik. Sesimpel itu aja. Bahkan, jika pekerjaannya tidak terlalu bagus dibandingkan dengan dirinya pun tidak masa...