one. Tawuran?

12 2 0
                                    

Pertengkaran antar siswi terjadi kala hujan lebat menyelimuti kota Jakarta. Teriak serta serapah didominasikan dengan pakaian seragam yang masih mereka pakai. Tidak ada yang peduli basahnya seragam itu. Tidak peduli meski esok hari seragam itu masih akan mereka kenakan. Yang mereka pedulikan adalah kemenangan, kilatan nafsu itu membara di setiap lirikan mata tajam mereka.

Perempuan itu salah satunya. Rambut pendeknya layu terguyur air hujan. Pakaian putih abu-abunya memeluk tubuhnya, membuat lekukan pada badan yang jenjang, menjadikannya sulit untuk bergerak melawan musuh di hadapannya.

Namun, bukan Renaya namanya bila menyerah begitu saja. Ia masih melumpuhkan lawan di hadapannya. Bersama kawan-kawannya yang lain. Menjadikan lapangan tak terpakai itu ditempati kericuhan.

Bug!!!

Di sisi lapangan Renaya berada. Meladeni satu perempuan berambut merah hati yang masih betah bermain bersamanya.

"Pukulan lo gak ada apa-apanya!"

"Oh, ya?" Renaya tertawa, sementara lengannya dengan cekatan menahan serangan brutal yang diberikan Vera.

Tendangan Vera berhasil dilayangkan. Mengenai perut Renaya hingga ia jatuh terlentang di perkumpulan bambu di ujung lapangan. Renaya merasakan terdapat bambu yang retak, terdapat potongan bambu tajam yang sedikit melukai punggungnya. Karena tendangan tidak terduga itu, napas Renaya terganggu.

Giliran Vera yang tertawa. Merasa puas. Bibir tipis itu tersungging manis. Di ujung bibirnya luka, yang mungkin sebentar lagi akan membiru.

"Gimana?" Vera mendekati Renaya yang masih lemas. Ia berjongkok dengan gelagat penuh rasa kebanggaan. "Masih mau lanjut?"

Renaya meringis, tetapi ringisan itu justru seperti dibuat lelucon. Seolah tendangan KO tadi tidak begitu membuatnya mundur. Sementara itu, teman-temannya masih meneriakkan perlawanan. Seragam basah serta luka mereka menjadi bukti mereka untuk tidak mundur. Ia sebagai orang terpenting di permasalahan ini juga tidak akan pernah menyerah. Ingat, tidak akan pernah menyerah. Batinnya merapalkan kata itu dengan mantap.

Plak!

"Sebenarnya gue mau habisin lo, Renaya," seloroh Vera, telapak tangannya yang tadi menampar pipi Renaya masih direkatkan. "Tapi muka lo sih mengenaskan gitu. Kasian kan gue ...."

Renaya meringis lagi. Lalu kemudian ia tersenyum. "Jangan seneng dulu."

Vera kembali tertawa. Tidak menganggap serius ucapan perempuan berambut pendek itu.

Di sela tawa itu, Renaya mengarahkan seluruh kekuatan kakinya untuk menendang pelipis Vera ke arah beton di sampingnya. Membuat kepala itu terbanting ke samping mengenai dinding kasar itu.

Tidak cukup sampai di situ. Renaya bangkit, membogem kepala Vera lagi. Kepala itu kembali terbanting ke dinding di sampingnya. Menjadikan kepala Vera dua kali lebih pusing. Terdapat bercak darah di area pelipis perempuan itu. Sementara pelakunya terduduk sama-sama lemas, merasakan perut serta punggungnya perih di hawa dinginnya sore itu.

Vera berteriak ketika pusing menyakitkan menyerangnya tiba-tiba. Telinganya berdengung, pandangannya mengabur. Vera tidak sadarkan diri. Melihat itu, Renaya terkekeh.

Renaya mencoba berdiri, punggungnya masih terasa linu. Beberapa pergelangan nampaknya sebentar lagi akan membengkak. Tapi Renaya tidak memusingkan itu.

Ia melirik ke pertengahan di mana asal kobaran penyerangan dimulai. Di sana, suara pertengkaran tidak terdengar lagi. Hanya suara hujan yang semakin deras. Teman-temannya ada yang tumbang, tetapi tidak sebanyak musuhnya yang sudah terlihat sama persisnya dengan Vera.

Petir ikut menyambut penuntasan itu. Bersama derasnya hujan yang membuat lapangan tersebut berlumpur tanah basah. Dan lingkaran perselisihan mereka berhenti begitu melihat Vera terkapar tak berdaya. Menjadikan tanda bahwa kemenangan telah ditentukan.

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang