seven. Sisi Gelap Sekolah

1 1 0
                                    

Istirahat pertama Renaya tidak berniat untuk makan di kantin, ia tidak nafsu untuk menjejali perutnya dengan jajanan ringan. Renaya memilih berjalan-jalan di kawasan jurusan IPA. Sesekali melihat majalah-majalah yang dihias di dinding koridor. Di dalamnya banyak karya bermutu seperti karya ilmiah, Renaya tidak berniat untuk membaca isinya, ia hanya sekedar memandangi hiasannya yang menenangkan mata.

Anak IPA di sini kreatifitas dan kerajinannya tinggi. Banyak hal-hal positif yang Renaya sendiri dapat merasakannya. Tidak ada bau-bau penindasan selama Renaya belajar di sini, hanya saja mereka memilih-milih teman hingga menjadi suatu lingkaran sepemikiran. Dan dampaknya, jarang-jarang ia menemukan satu atau dua murid yang berjalan sendirian tak ada teman.

Ia juga susah mendapat teman di sini.

Sulit bila tidak ada yang membelanya. Tentang Denisa tadi yang menamparnya, itu sungguh mempermalukan harga dirinya.

Ia juga sempat berpikir, kenapa juga ia tidak menyerangnya saja sekaligus memberi pelajaran untuk yang lain. Dirinya bukan manusia yang terima-terima saja diperlakukan tidak adil. Tapi karena seisi kelas tidak ada satupun yang membela, Renaya jadi balik berpikir, "Gue kali yang salah?".

Tentang sircle Caca, yang membelanya tadi.

Renaya tidak percaya itu, yang ia percaya hanyalah Caca dan teman-temannya takut kalau dirinya marah. Mereka takut membuat kelas gaduh.

Dan tentang bu Anita menegurnya, Renaya seharusnya bilang, kalau bukan hanya dirinya yang tertidur di kelas. Yang lain juga ada yang tertidur sama sepertinya. Bu Anita memang sedari awal mencintai murid XII-IPA 1 karena merupakan kelas unggulan. Renaya tau guru itu tidak tegaan, sehingga melampiaskannya kepada murid sepertinya yang bisa masuk ke kelas unggulan dengan menyuap.

Menyuap memang salah. Papa pasti menyekolahkannya di sekolah ini, dan memasukkannya ke kelas unggulan karena ingin membuatnya berubah, total.

Intinya, Renaya susah menjadi diri sendiri.

Renaya seperti tidak didukung kehidupannya. Seperti sampah.

Tapi tamparan Denisa tadi memang menyadarkan satu hal, kalau dirinya memang egois dan patut dikatai tidak berguna.

Sampah!

Renaya menghentikan lamunannya. Memikirkan itu membuatnya muak. Ia memang salah, tapi ia marah dirinya disebut sampah. Karena Renaya manusia.

Dan ia marah dirinya tidak berbuat apa-apa. Sudah seperti sampah beneran.

"Udahlah, Nay, gak semuanya dilampiasin pake emosi," gumam Renaya, gumaman itu merupakan jiplakan dari nasihat Rafael yang menceramahinya tadi pagi.

Renaya kembali memandangi mading di depannya. Mencari suatu yang menenangkan, agar bisa lebih bersabar.

Bruk!

"Eh, sori, sori!"

Tubuh Renaya oleng sedikit sekaligus kaget karena tiba-tiba ada yang menabraknya. Ia mengangguk, tapi tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang kesal. "Lain kali jalan jangan cuma pake kaki, pake mata juga perlu," katanya.

"Iya, sori ya," cewek itu kemudian pergi, tetapi sempat menatap Renaya dari atas kepala sampai kaki.

Kesabaran Renaya yang diuji melulu itu akhirnya lenyap ketika tatapan cewek itu yang ia anggap tidak sopan. Ia mengepalkan kedua tangannya. "Heh! Sini lo, njing!"

Cewek yang berjalan memunggunginya itu terperanjat. Seperti sudah tau akan diapakan, dia langsung lari terbirit-birit.

"WOEY!" Renaya berteriak di koridor itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang