six. Di Dapur

3 1 0
                                    

Dimarahi itu gak enak. Renaya merasakan itu. Dua jam ia hanya diam menunduk bak kucing, di depannya Bang Fael berbicara panjang lebar ditambah dengan nada tinggi. Bukannya masuk ke telinga, malah masuk ke hati. Jadi sakit hati kan Renaya. Kebawaannya jadi gak mood. Tapi bila ia sedang tidak mood begini, biasanya ia mendadak rajin. Gak tau kenapa.

Dan ... Bang Rasyel yang pasti akan mengomentari.

"Buset kamar tidur Naya jadi rapi loh, Ma."

"Biasanya bangun kesiangan, ini bangun kepagian. Jam 3 udah pake mukena, aduuuuh, sholehah banget sekarang, Ma."

Gue gak tidur semaleman, ege! balas Renaya dalam hati. Sambil tangannya tetap memotong tempe, membantu mamanya di dapur, dengan wajah yang tidak enak dilihat.

Resna yang melihat mulai jenuh. "Nay motongnya itu—kamu niat gak, sih!?"

"Niat."

"Itu motongnya kegedean, samain kayak yang Mama," sahut Bang Fael dingin. Tau-tau sudah ada di meja makan.

"Iya."

"Rajin bangettt, nanti tempenya pasti Abang coba," tutur Bang Acel sambil mengacak-acak rambut adiknya.

"Gue. udah. mandi!" seru Renaya menatap abangnya sebal.

"Naya," peringat Bang Fael.

"Bang Acel tuh mainin rambut orang! Kayak gak punya rambut sendiri, tau rasa kalo beneran botak!" Renaya berusaha memendam emosi, lanjut memotong tempe dengan hentakan keras.

"Iya, maaf sayangkuh," Rasyel mencubit lengan kiri Renaya yang terbalut kain Hoodie.

"AW! ABANG SAKIT, IH!!"

"Cel! Tangan Naya masih lecet!" seru Rafael.

"Lah? Lecet? Mana, mana liat." Rasyel mulai ribut pagi-pagi, berusaha membuka Hoodie Renaya.

"Diem, Bang! IH!!!" Renaya menghunus pisau tajam ke arah Rasyel. Untung Rasyel dengan cepat menjauh, menghindarkan diri. "Ma! Ini tempenya potong sama Mama aja! Naya ga bisa!"

"Tadi yang mau bantuin kan kamu sendiri, Nay," Mama geleng-geleng kepala. "Taro aja di atas talenan."

Renaya kemudian duduk. Memakan tempe goreng yang sudah siap dimakan.

"Gak mood gara-gara Abang?" tanya Rafael.

"Pantesan—"

"DIEM!" Renaya melirik Rasyel tajam. "Gak usah nyebelin!"

"Hari ini motor Naya masih disita, Ma?" tanya Rendra, yang sedari tadi menseriusi laptop.

"Masih, dong," jawab Resna. "Diperpanjang malahan."

"Ko gitu, Ma?" Rendra bertanya lagi, sempat melirik Renaya yang semakin memasang wajah senggol bacok.

"Niat Mama baik," sembari membalik-balikkan tempe goreng di wajan, Resna menjelaskan, "Naya jatuh dari motor, lukanya juga lumayan sakit itu. Tadi aja dicubit ngejerit. Makanya, sekarang dianter dulu sama kalian, ya. Naya gak bisa bawa motor sendiri dulu. Kamu denger, ya, nak?"

"Kalo cuma ngendarain motor, itu bisa, Naya ga selemah itu," sahut Renaya pelan.

"Sama aja Mama khawatir," tambah Resna. "Sekarang masih jadwalnya Acel, ya."

Setelah mamanya mengatakan itu. Rasyel mendadak masuk angin. "Ma, Acel ko mendadak mules, ya."

"Jangan bilang lo mau berak sekarang?" serobot Renaya. "Jam enam lebih sepuluh udah harus kelar lo, Bang! Awas kalo lama!"

"Ngga, bentaran doang kagak bikin telat setelat bangunin lo yang ngebo."

Renaya merotasikan matanya.

"Eh, Ma, tapi masih laper, gimana, dong?" Rasyel merengek.

"Gimana kamu, Mama capek."

"Oke," Rasyel kemudian meraih piring, mengambil nasi dan segala lauk pauk yang tersedia di meja. "Nih ya, Nay, tempe potongan lo gue makan."

"Katanya mau berak?" tanya Rendra.

"Iya mau," katanya sambil membawa piring itu ke kamar mandi. "Sambil makan, sambil berak, kan enak."

"Jorok!" Renaya tidak jadi meraih tempe hasil potongannya yang telah digoreng. "Ma! Aku dianter sama Bang Fael aja!"

***

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang