six. Bang Fael

1 1 0
                                    

Jam tiga pagi, Renaya pulang menggunakan taksi. Tidak masuk melalui pintu depan karena sudah pasti masih dikunci, ia mengendap-endap menuju jendela kamar yang berada di belakang halaman. Inilah alasan ia tidak pernah mengunci jendela tersebut.

Berhasil masuk, Renaya lantas berganti pakaian kotor dengan baju tidur. Kemudian ia berbaring di tempat tidur. Sedari tadi mata itu lelah, ia ingin tidur walau hanya sebentar.

Pintu kamarnya diketuk.

Shit! Renaya melotot panik. "Mati gue."

"Gue tau lo baru pulang."

Bang Fael! Renaya semakin panik. Tidak sepanik ini bila orang tersebut adalah Rasyel atau Rendra. Ini Rafael! Bisa mati Renaya kalo abangnya tau keadaannya penuh luka seperti ini. Ia perlahan turun dari ranjangnya. Membuka pintu pelan-pelan.

Rafael sudah berdiri menatapnya dingin.

"Eh ... Bang ...," Renaya cengengesan, gelagapan ketika tatapan abangnya menajam ke arah keningnya yang terluka. "Naya gak berantem, ini ... luka ... biasa, sih, luka jatoh," dengan dada berdebar ia memegang pelan area keningnya yang penuh plester. Tangan penuh luka yang memegang keningnya itu otomatis terlihat.

"Tangan juga luka?!" desis abangnya mengembuskan napas kasar.

"Shit," Renaya merutuk, buru-buru lengan yang luka ia sembunyikan di belakang punggungnya. Menyesal ia memakai baju tidur berlengan pendek, bila begini abangnya bisa melihat lukanya dengan bebas.

"Gua bilangin mama tau rasa lo," kata Bang Fael pelan. "Lo udah sholat isya?"

"Belum," Renaya meringis.

"Kalo lo kebut-kebutan di jalan dan mati dengan keadaan belum sholat, gimana?" Rafael bertanya tajam.

"Jangan didoain gitu, Bang, amit-amit," tengkuk Renaya melemah, dengan lunglai pergi menuju kamar mandi. Sebelum itu, ia sempatkan bertanya, "Tau dari mana Naya kebut-kebutan?"

"Dari Jeroen."

Sialan! Napa tu anak bisa tau?! Mana cepu lagi! Renaya merutuk kesal.

"Tadi juga lo bolos, kan?"

Fuck!

"B-bang, waktu itu Naya laper, belum sarapan. Bang Acelnya rusuh gak jelas!"

"Dia ada kelas pagi," balasnya tajam. "Lo seharusnya ngerti, lo itu ngebebanin dia!"

Dada Renaya sesak mendengarnya. Mendengar kata "beban" yang keluar dari mulut abangnya, membuat pikirannya terawang-awang bahwa selama ini ia memang beban untuk semuanya. "Iya, Bang. Maaf."

"Maafnya ke Bang Acel. Bukan ke Abang," ia menghela napasnya, "mulai pagi ini, biasain bangun lebih pagi. Biasain sholat tahajud, tobat dikit-dikit."

"Iya, Bang."

"Udah sana sholat dulu. Kalo udah, Abang tunggu di teras luar."

"Mau apa, Bang?"

"Mau marahin lo. Di sini ga leluasa."

***

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang