seven. Ketua Kelas

0 1 0
                                    

Pelajaran sejarah kebawaannya pengin tidur ga, sih? Apalagi Renaya belum tidur semalaman, sedari tadi ia hanya menatap kosong ke depan. Setelah itu mulai merasakan kantuk yang perlahan-lahan meresap ke tubuhnya untuk menutup mata.

"Heh kamu! Renaya!" Bu Anita melempar spidol, naasnya mengenai murid di belakang Renaya.

Dini yang terkena spidol menjerit. Mendengar itu, Renaya terperanjat.

"Maaf Dini," kata gurunya lalu menatap galak pada Renaya. "Gara-gara kamu!"

"Hah?" Renaya bingung. "Kenapa, Bu?"

"KELUAR!"

"Makanya jangan tidur di kelas, gue kan yang kena," sulut Dini. Menendang kecil kursi Renaya di depannya.

"Iya, Bu," Renaya berdiri hendak keluar ruangan.

"Bisa dilihat semuanya?" Bu Anita memberi tatapan menilai pada Renaya yang memakai Hoodie di kelas. "Pake jaket di kelas! Ini pasti bajunya dikeluarkan!!" Bu Anita lalu melihat kerah batik yang sedikit terlihat. "Pake batik sekolah lamanya lagi!"

"Atributnya juga masih atribut sekolah lamanya, Bu!" Fatmah memberitahu.

"Masih rindu sekolahnya kali," yang lain tertawa.

Bu Anita geleng-geleng kepala, ia lalu menemukan kejanggalan yang harus ia sebarkan. "Nah, kan! Liat! Sepatunya aja warna merah. Tidak mematuhi aturan sama sekali!"

Raya menyahut, "Rambutnya juga, Bu! Bagian belakangnya diwarnai!"

"Sedikit," sela Renaya malas. Lagian cuma beberapa helai, itupun ia simpan di belakang rambut hitam. Helaian itu akan terlihat bila diikat.

"Sama aja kali ... kita masih sekolah, bukan anak kolong jembatan, bukan juga gengster!" seru Fatmah dilanjut dengan sorakkan orang-orang yang seperti ada dendam pribadi.

Renaya menatap Fatmah, sebutan gengster itu membuatnya sedikit tersentak.

"Kamu itu anak baru, Renaya," Bu Anita berkata sembari matanya sibuk melihat helaian rambut hitam Renaya, mencari helaian warna lain yang dimaksud Raya. Ternyata memang tidak terlihat. Ia malah baru sadar kalau kening Renaya yang diplester itu terdapat luka sobek yang sedikit terlihat. "Itu keningmu kenapa?"

"Berantem, Bu!!!" sorak yang lain.

"Jangan asal nuduh," sahut Renaya malas.

"Jatuh di mana?" Bu Anita mulai memberikan rasa penasarannya.

"Di jalan—"

"Berantem dia bu! Kemarin malem temen saya liat dia masuk ke rumah gangster! Buat rusuh gak jelas!" Dini memotong pedas.

Renaya tersentak untuk keduakalinya. Bagaimana Dini tahu? Sekarang ia mulai khawatir identitas aslinya terungkap.

"Mana gaya-gayaan pake motor ninja lagi!" lanjut Dini sambil melipat tangannya di dada. "Pasti dia jatuh di jalan karena gak bisa pake motor! Soalnya temen saya liat di bengkel Pak Karman ada motornya yang rusak!"

Oke. Dugaan Dini memang benar. Dan Renaya justru lega karena nyatanya Dini belum tau tentang identitas aslinya. Juga ia mulai sedikit waspada, karena jangan-jangan ada maksud lain kawanan Dini memata-matainya.

Bu Anita mengembuskan napasnya lelah. "Jangan mencemari sekolah ini dengan tingkahmu dan penampilanmu."

"Iya, Bu," kata Renaya sambil membuka pintu hendak keluar. Sebelum benar-benar keluar, ia berucap pelan, "Kalo atribut saya sudah mengatasnamakan sekolah ini."

Menggunakan atribut lama merupakan bentuk balas dendam Renaya kepada ibu kepala sekolahnya dulu, SMA Citaloka. Ada sedikit ketidakterimaan dirinya dikeluarkan, sementara ibu kepala sekolahnya dulu masih duduk nyaman di kursi kejaksaannya sambil mencium uang suap dari murid di sana. Dengan penampilannya yang nyeleneh di sekolah baru merupakan bentuk balas dendam yang tidak seberapa.

Satu jam berlalu. Pelajaran Bu Anita selesai dengan ditandai bel istirahat pertama. Bu Anita menyelesaikan pelajaran dengan memberikan tugas yang harus dikumpulkan besok.

Bu Anita melihat Renaya di luar yang tertidur pulas di teras kelas. "Renaya!"

Renaya membuka matanya perlahan, ia lantas berdiri, memasuki kelas dengan mata suntuk tanpa menatap guru yang melihatnya galak.

Terdapat aura tidak mengenakkan ketika Renaya masuk ke dalam.

"Rena!" Ketua kelas memanggil jengkel.

Renaya merotasikan matanya yang masih suntuk. "Renaya or Naya."

"Bodoamat!" Ketua kelas itu berdiri dengan berani. "Lo buat rusuh di kelas! Gak jelas tingkah lo!"

Renaya tetap diam. Ia memilih duduk dan membaringkan wajahnya di meja.

Ketua kelas itu bernama Denisa. Ia menghampiri Renaya.

"Heh! Gak bakal ngaruh!" Caca menyahut pelan. Ia melirik Renaya yang tertidur, di matanya anak itu sudah seperti anjing yang akan menggonggong bila disentuh. Renaya menjadi horor bagi sircle Caca sejak insiden waktu teman-temannya memainkan kesabaran Renaya. "Ngomongnya harus baik-baik."

"HEH!" Denisa melotot ke arah Caca, orangnya langsung terperanjat. "Ini anak—gua baikin malah ngelunjak masalahnya! Kemarin-kemarin gua masih bisa sabar, Ca! Sekarang?" Denisa mengepalkan tanganya sambil menatap tajam pada Renaya yang dengan santainya lanjut tertidur. "RENA!!"

Tidak ada balasan.

"RENAYA!!!"

Masih tidak ada balasan—

BRAK!!

Meja Renaya ditendang oleh Denisa. Wajah Renaya yang membaring di permukaan meja itu dengan sigap terangkat sebelum meja itu benar-benar menjauh dari kursi yang didudukinya.

Tatapan suntuk Renaya menajam.

"APA?!" Denisa balas melotot.

"Udah, Nis," temannya, Fatmah dan Dini mengurung pergerakan tangan Denisa yang bisa saja menjambak rambut Renaya.

"Lo gak pernah hargai gue sebagai ketua kelas! Dulu kelas ini damai sebelum ada lo!" seru Denisa.

"Emang gue ngapain?" tanya Renaya, berdiri dari duduknya. Melangkah mendekat, memutus jarak dengan Denisa. Ia menatap tenang. "Gara-gara gue ketiduran di kelas?"

Denisa muak ketika kemarahannya dibalas santai oleh Renaya. Kesabarannya seperti dimainkan. Ia langsung menepis paksa kedua tangannya yang dipegang. "Lo—Anjing. Gak guna! SAMPAH!!"

Plak!

Denisa menampar keras pipi Renaya.

Kejadian itu membuat yang lain terdiam. Ruangan senyap seketika.

Rasa panas menjalar di pipi Renaya. Perlahan, ia merasakan perih pada pelipisnya. Kemarin memang pelipisnya sedikit berdarah hingga mau tak mau harus diplester. Dan tamparan Denisa tadi berhasil mengenai pelipis yang diplester itu.

"Mampus!" sahut Raya setelah hening yang lama, ia terkikik pelan.

"Nis! Udah!" Caca menginterupsi. "Jangan diperpanjang!"

"Lo dukung dia?" Denisa menunjuk Renaya menggunakan dagunya. "Jangan-jangan lo mau jadi sampah kek dia, hah?"

Renaya tetap diam, menatap datar pada Denisa. Tamparan itu tak membuat ia gentar. Namun, tidak juga membuatnya tergerak untuk membalas.

Raya tertawa. "Sampah, niiih!"

"Gua gak ngelucu!" Denisa melotot ke arah Raya.

Setelah melototi Raya, Denisa kembali menatap tajam Renaya. Hal menyeramkan terjadi, ia baru menyadari Renaya tetap tenang sambil menatapnya intens. Hal itu membuatnya perlahan menjauh, pelariannya adalah keluar kelas. Ada ketakutan tersendiri yang ia juga tidak tau datangnya dari mana.

Di depan pintu, Denisa masih sempat mengeluarkan unek-unek terakhir, "Ini baru peringatan pertama. Kalo lo masih berulah, gua pastiin lo keluar dari sekolah ini! Lo ... anak baru modal nyogok gak pantes sekolah di sini."

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang