two. Kehangatan

4 1 0
                                    


Sejak tadi, rumah itu diselimuti awan mendung. Malam yang biasanya dihangatkan oleh anak-anak yang berceloteh sambil menonton televisi. Juga biasanya sambil makan nasi goreng hangat bersama, dan mungkin ada yang menyahut kalau nasi goreng cocoknya jadi sarapan pagi. Seharusnya rumah itu digaduhi oleh keberisikan seperti yang selalu dilakukan. Namun, malam itu seperti hampa yang mencekik leher mereka untuk tetap diam.

"Pagi sekali orangtua Vera datang ke perusahaan. Menuntut pertanggungjawaban saya karena anaknya dilarikan ke rumah sakit gara-gara tawuran kemarin, kemungkinan kecil mengalami gagar otak. Ya bagaimana tidak separah itu, anakmu dengan sok jagoannya menendang kepala. Bagian paling sensitif," jelas Remi dingin, tatapannya lurus ke arah wajah istrinya.

"Aku tahu. Tapi kalau kamu marahin dia malah makin memberontak. Sekarang lebih baik kamu pulang."

"Saya menunggu anak badung itu."

"Percuma kamu menunggu. Renaya gak mau pulang kalau kamu di sini." Resna balik menatap suaminya dingin.

Tidak ada pertalian asmara di antara mereka berdua.

Bersamaan dengan itu, suara klakson motor yang memekakkan telinga memasuki pekarangan rumah. Membuat Remi bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri pintu yang masih tertutup.

"Anak itu sudah bikin masalah besar. Membuat malu saja!" gumam Remi kesal.

Pintu rumah membuka dari luar. Renaya sedikit tersentak melihat papanya sudah berdiri di hadapannya.

"Papa? Nunggu Naya pulang, ya?" Renaya melepas helm dari kepalanya. Menampilkan potongan rambut model Wolf cut. Hasil dari ke salon pagi tadi.

Rahang Remi mengeras. Menahan gejolak amarah ketika melihat potongan rambut itu. Ditambah seragam sekolah yang masih Renaya kenakan di waktu sudah malam begini. Membuatnya jengah. Namun, ia memilih untuk diam.

"Mau bicarain apa, Pa?" Renaya bertanya sembari duduk di kursi tamu, di samping mamanya. Ia menyalami punggung tangan wanita itu. Mulai membuka jaket kulit hitamnya, melipatnya asal.

"Dari mana?" Resna membalas salam putrinya. "Baru aja kemarin-kemarin Mama bilang kalau mau main ganti seragam dulu."

Renaya nyengir, tidak peduli papanya masih berdiri menatapnya dingin. "Ini mau ganti, kok. Tapi kayaknya Papa mau bicara sama Naya dulu. Iya kan, Pa?"

"Berhenti menyusahkan hidup saya ...."

Seperti ada guntur yang menyambut perkataan itu. Ikut menyertainya di dalam dada Renaya. Merasa dari setiap kata-kata papanya memberi setruman yang melemahkan seluruh jiwanya. Kala itu Renaya jadi tahu satu hal, papanya tidak benar-benar tulus selama ini.

Mendengarnya, tatapan Renaya yang polos nun lugu berubah datar. "Kenapa begitu?"

"Berhenti mempersulit hidup saya."

"Kenapa?" tanya Renaya santai. "Bukannya itu wajar, ya? Dari awal Papa sendiri kan yang mau pergi dari rumah ini. Biayain kita-kita dengan materi. Berarti yang menyulitkan hidup Papa ya Papa sendiri. Padahal kalau Papa masih tinggal di sini, Naya sama yang lain gak bakal ngebebanin hidup Papa ...."

"Jangan jadi anak yang tidak tahu diri! Jangan membuat saya semakin muak untuk pulang ke rumah ini!"

Renaya berdiri. "Terserah. Yang jelas, Naya mempersulit hidup Papa karena Naya lahir di atas pertanggungjawaban orangtuanya."

Renaya balik menatap papanya yang masih berdiri menatapnya.

"Naya. Bersyukur saya beri kamu kesempatan terakhir. Sekarang saya masih bersimpati untuk mengurus biaya sekolah barumu. Jangan membuat saya harus ke rumah ini lagi karena ulah badungmu itu. Bila bisa enyahlah dari hidup saya sebagai balas budi dirimu kepada saya yang masih berbaik hati membiayai hidupmu."

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang