one. Renaya

7 1 0
                                    

Di sofa keluarga, Renaya duduk sambil cemberut. Ia sebal sendiri ketika mamanya terus mengomel. Jari Mama tak ayal tetap mengompres beberapa luka di wajahnya. Sementara ketiga abangnya masing-masing mengobati luka di tangan dan kakinya.

"Bandel banget! Kayak bukan anak perempuan!" dumel Mama, sesekali jarinya menekan kuat-kuat pada pusat luka di pipi anaknya.

"Aww! Jangan diteken gitu, Maaa!"

"Sok jagoan! Giliran kayak gini aja lembeknya minta ampun!"

Rasyel, kakak yang sering dipanggil abang Acel itu tertawa meledek. "Makanya jangan berantem melulu kerjaannya ...."

"Gue gak berantem, ya!" Renaya membantah tajam. Menatap abang Rasyel yang duduk bersila di sampingnya, mengobati tangan kirinya.

"Ya terus apa kalau gak berantem?" Rafael ikut menyahut. Abang galaknya itu menatap tajam kepada Renaya.

"Y-ya ... tawuran," sebut Renaya pelan.

"BWAHAHAHA! TAWURAN PALA LO!" Rasyel yang dari segi wajahnya mirip dengan Rafael itu tertawa terbahak-bahak. Kapas yang ia genggam untuk mengobati area lengan Renaya terlempar ke sembarang arah. Tawa itu spontan menular ke Rendra, sementara Rafael geleng-geleng kepala.

"Berhenti ketawa! Gak ada yang lucu. Ini sudah jam sembilan malam," peringat Mama.

Rasyel sempat-sempatnya mengacak-acak rambut lembab adiknya itu. Renaya menatapnya galak. "Ngakak aja, Ma! Mana ada cewek tawuran—"

"Ya emang tawuran, Bang! Berantem bareng-bareng kan namanya tawuran!" bantah Renaya kesal, matanya lalu menoleh ke arah Rendra. "Iya kan, Bang?"

Rendra hanya cengengesan menanggapinya.

"Iiih! Iya kan, Bang?" ulang Renaya menggerak-gerakkan salah satu kakinya yang masih difokusi abangnya itu.

Rendra mengunci pergerakan kaki adiknya. Ia nyengir kuda. "Iya deh tawuran. Tapi tawuran kan sama aja berantem."

"Ya tapi kan beda. Tawuran itu ada bentuk kekerjasamaan. Secara gak langsung gue lagi menerapkan pelajaran IPS, dong," jelas Renaya.

Rendra menyugar rambut ikal sebahunya yang acak-acakan. "Naya sayang. Cewek itu merupakan sosok terlembut di dunia ini. Gak ada yang bisa nyaingin kelembutan hati mereka. Mereka itu bak bidadari yang turun ke bumi. Di kamus gak ada namanya cewek tawuran, Nay, gak ada. Sifatnya juga gak keras kek cowok. Mereka itu hatinya lembut, baik, penuh perhatian dan yang terpenting feminin ... anggun ...," jelasnya seperti ibu-ibu bercerita pada anaknya, bedanya ia menjelaskan itu dengan suara berat khas seorang lelaki.

"Nah, dengerin!" ucap Mama sembari membenahi kotak P3K yang selalu saja dibikin boros bila sedang mengobati anak bungsunya ini.

"Fokus belajar aja, napa?" Rasyel menyahut lagi. "Kasian tau Mama. Dimarahin Papa terus gara-gara lo bikin ulah."

"Abang kok nyalahin!" Renaya tak terima.

Rendra terkekeh. "Ya emang salah lo, cil. Besok Kamis lo pasti dapet surat dari sekolah. Masih mending surat peringatan, kalau sampai dikeluarin? Gimana?"

Merasa ia semakin disudutkan, bibir Renaya semakin cemberut. Mau nangis tapi malu sama ketiga abangnya. Tapi ya namanya juga cewek. Sekuat-kuatnya menahan, air mata itu justru menggenang. Menjadikan matanya nampak berkaca-kaca.

Ketiga abangnya yang melihat Renaya berkaca-kaca itu langsung panik.

"Salah lo," tunjuk Rafael pada abang pertamanya.

"Kok gua!?"

"Ya lo jangan bilang si Naya dikeluarin dari sekolah juga, Bang. Nangis kan dia," Rasyel menambahi.

"Gue gak nangis!" seru Renaya seraya bangkit dari duduknya. Ia berjalan terpincang-pincang menuju pintu kamarnya yang berada dekat di ruang keluarga. Detik itu juga pandangannya mengabur, mata itu semakin berkaca-kaca.

"Duduk dulu, Nay!" titah Mama. "Tangan kamu masih ada yang belum dikompres."

"Naya gapapa, Ma. Ini juga salah Naya, kan? Maaf udah ngerepotin kalian—"

"Udah deh Nay! Jangan banyak drama, ah! Mama capek, jangan kamu bikin capek lagi."

Mama bangkit menghampiri putrinya yang masuk kamar. Untunglah pintu itu tidak dikunci. Namun tetap saja, ia menatap galak pada ketiga anak laki-lakinya yang sama-sama sedang menatapnya.

"Makanya kalau ngomong jangan asal ceplas-ceplos!" omel Mama lalu masuk kamar putrinya.

Rasyel yang mendengar itu meringis. "Yaah, salah lagi kan kita. Yang berantem siapa, yang kena siapa."

"Namanya juga cowok, Cel," Rendra menyahut.

Sementara di dalam kamar, Renaya rebahan di kasur dengan posisi telungkup sembari sibuk mengusap matanya dengan permukaan bantal. Lalu, ia menoleh ke samping di mana ada foto bersama keluarganya. Melihat papanya ada di foto itu sembari merangkul keempat anak kecil, ditambah mamanya mengecup pipi papanya, membuat keluarga itu lengkap dengan formasi kocak. Foto itu membuat air matanya tidak bisa dibendung lagi.

Mama masuk kamar dan mengunci pintu tersebut dari dalam. Khawatir ketiga anak laki-lakinya mengekorinya dan membuat rusuh suasana.

Mama menghampiri putrinya yang sudah diduga menangis tanpa suara.

"Naya sebenarnya gak mau kayak gini," gumam Renaya, wajahnya ia benamkan di permukaan bantal.

"Udah, Naya," ucap Mama mengembuskan napasnya lelah.

Renaya menoleh lagi ke samping, menatap foto berisi sosok lelaki yang sedang merangkul manja dengannya. Lelaki itu nyengir lebar, terkadang ia berpikir ingin mencubit pipi itu karena gemas. Ingin mengulangi kembali yang dulu bila saja dulu itu bisa ia tarik lagi. Bila bisa, ia akan selalu menggenggamnya. Tak ingin melepasnya. Ia akan terus di dalam masa itu, takkan terbersit untuk kembali kepada hidup ini yang suram.

"Ini juga lagi berusaha, kok. Tapi Naya gak bisa janji. Dan untuk sekarang Naya cuma mau bilang. Naya ... sebenarnya gak mau kayak gini. Tapi yaa, untuk sekarang Naya nyaman gini. Gimana sih Nay, plin-plan banget jadi orang," Renaya tertawa sumbang, mulai menyalahkan dirinya sendiri.

"Udah, ya nangisnya. Sana bobo, udah malem," tutur Mama. Tangannya menyampirkan selimut kepada tubuh putrinya. Mengecup kepala belakang anaknya yang kembali membenamkan wajahnya ke bantal. Berharap dengan kecupan itu, anaknya bisa tidur nyenyak.

Renaya tidak bergerak bahkan sampai Mama pergi dari kamarnya. Ia terus begitu, rebahan dengan bertelungkup, tidak peduli pernapasannya terganggu. Tidak peduli air matanya membasahi bantal putih itu.

"Seharusnya gue aja yang mati. Hidup lo lebih berguna ketimbang hidup gue yang cuma nyusahin semua orang."

***

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang