four. Bolos

2 1 0
                                    

Karena telat berjam-jam Renaya memilih bolos saja dan datang setelah jam istirahat pertama selesai. Lagian setengah jam lagi sudah akan istirahat, rasanya sangat kagok kalo harus masuk kelas dan kena omel yang buang waktunya saja.

Ditambah sekarang ia masih banyak pikiran. Vando yang memberikan informasi falid kemarin sore bisa membuatnya tidak tidur semalaman. Itu juga alasannya ia telat bangun pagi, walau biasanya memang suka telat, sih....

Jadi ke warung dekat sekolah dengan mengenakan Hoodie adalah solusinya, sementara rok abunya dibiarkan terlihat. Nanti kalau ada yang bertanya, "Sekolah di mana, dek? Ko bolos?" Ia bisa menjawabnya dengan asal.

"Mbak, baksonya satu mangkuk lagi," pintanya, perutnya masih lapar belum sarapan karena abang Rasyel memisuhinya yang lelet. Ya sudah makan di luar adalah solusinya.

Namun, bukan solusinya ia menemukan sosok cowok yang sedang membawa baki berisi bakso bersama temannya. Antara kan namanya? Renaya masih ingat cowok itu mengenalkan namanya kemarin.

Dan sialnya Antara melihat dirinya sedang nyantai di bangku dekat gerobak mi bakso. Sialnya lagi hal yang paling tidak masuk akal, cowok itu mendekat.

"Hai, boleh duduk?"

Renaya tidak menjawab. "Ngapain di sini?"

"Kita harusnya yang nanya begitu. Lo ngapain di sini?" tanya Farhan dengan alis terangkat.

"Beli mi bakso. Lo gak liat?" Renaya menyahut tajam. "Gue tanya lo pada ngapain di sini? Masih ada bangku lain yang bisa kalian dudukin."

"Ya maksud gue cewek kek lo harusnya belajar ...."

"Terus cowok kek kalian harusnya apa? Ngebolos jualan bakso?" Renaya mulai memasang wajah tidak ramah.

"Bukan gitu, lo—" Antara mencubit lengan temannya sampai mengaduh. "Kita cuma mau nawarin bakso bakarnya. Lo mau gak?"

Renaya tanpa pikir panjang menjawab. "Ngga."

"Bener?"

Renaya berdeham malas.

"Yakin?" Baki bakso bakar disodorkan lebih dekat.

Aroma bakso bakar langsung tercium. Renaya kemudian menatap Antara jengkel.

"Ya udah beli satu!"

"Okee! Dibungkus satu!" Biasanya Farhan yang membungkus, tapi kali ini Antara yang berinisiatif. Ia dengan semangat mencomot setusuk yang berisi tiga bakso itu untuk dimasukkan ke plastik.

"Beli dua," sahut Renaya setelah Antara memberikan satu. Ia memberikan uang sepuluh ribu. "Lima ribuan, kan?"

"Iya," jawab Farhan ogah-ogahan.

"Ketus amat sama pembeli," Renaya terkekeh sinis.

Antara memelototi Farhan. "Dia emang sikapnya gitu, gak usah ditanggep."

"Apaan si lo?" Farhan tak terima.

"Lo yang apaan! Ketus amat kek cewek PMS," bisik Antara tajam.

Renaya sedikit mendengarnya, ia terkekeh lagi. "Setahu gue cewek PMS gak sampai ketus berlebihan begitu, apalagi ke pembeli."

"Oh lo denger, ya," Antara gelagapan, panik karena kekehan Renaya yang mengintimidasi. "Sori ya temen gue emang lagi banyak masalah ...."

"Oh," sahut Renaya. "Udah kan? Apalagi sekarang?"

"Maksud!?" Farhan lagi-lagi menyahut ketus.

"Dih," Renaya tertawa mengejek, betulan mirip cewek PMS. "Ya maksud gue ngapain masih di sini? Gue kan udah beli."

"Oh!"

Farhan kemudian pergi membawa bakinya, meninggalkan Antara. Renaya semakin geli melihat tingkahnya.

"Bocah!" sungut Antara pelan.

"Lo berteman sama bocah."

Antara melirik, lantas tersenyum simpul. "Ya, tapi baik si dia. Gak ada dia, gue bukan apa-apa."

Renaya tidak menjawab. Ia mulai mencicip baksonya.

"Kalau sekarang, gue boleh duduk?" Antara bertanya sekali lagi.

Dia memang berdiri sedari tadi. Karena tidak ada persetujuan dari Renaya.

"Gue bakal kasih duduk kalo lo ngasih alasan," sahut Renaya sambil menggigit daging bakso bakar.

"Gue mau nanya doang, si." Antara langsung duduk di samping tempat duduk Renaya.

"Ngapain duduk? Gue kan belum bilang boleh!?"

"Kan gue udah kasih alesannya. Jadi boleh, kan?"

Renaya merotasikan matanya sebal. "Ya udah mau nanya apa?"

"Nama lo siapa?"

Renaya berdecak. "Kalo gak ada mutunya mending pergi aja, deh!"

"Cuma nama, loh!" Antara tersenyum. "Masa lo tau nama gue, tapi gue gak tau nama lo."

"Ck! Renaya," jawabnya galak.

"Dipanggil apa?"

"Banyak nanya, anjir!" Renaya melotot kesal.

"Kan alesannya memang mau nanya, gimana si Rena ini," Antara tertawa.

"Jangan panggil gue Rena! Naya aja!" kata Renaya nyolot. "Lo makin lama nyebelin juga, ya?"

"Oke, Naya. Tinggal di mana?" tanya Antara semakin gencar.

"Gue gak sama kayak cewek lain yang sudi ditanya-tanya begitu, najis!" Renaya mulai gerah. "Udah deh, lo susul temen satu lo itu. Pergi dari sini!"

"Iya, iya, deh. Galak amat."

"Lo kira gue gak bakal laporin lo sama temen lo yang ngebolos santai gitu?"

"Emang tugasnya jualan, kok. Bikin produk, pelajaran IPS. Memilih jualan ke luar karena kalo jualan di jam pelajaran begini gak enak aja sama gurunya," balas Antara sambil tersenyum manis penuh kemenangan. "Justru gue bisa aja bilangin lo yang ngebolos."

Makan omongan sendiri. Renaya merasakan itu. Tapi ia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, ia tidak takut dengan ancaman itu. "Oh, terus? Bilangin aja, emang gue takut masuk BK?"

"Kirain," Antara menggaruk kepalanya. "Tapi karena lo mau kenalan sama gue, jadi gue anggap kita berteman mulai dari sekarang. Temen tidak akan cepu!" Ia menempelkan tangannya di kening, memberi hormat.

"Idih!"

ANTARA RENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang