💚28💚

22 5 19
                                    

OSTRANENIE

Satu hal yang paling aku tidak sukai dari diri sendiri adalah, waktu dimana aku terlalu banyak bicara dan tanpa sadar membuat waktu sia-sia. Seperti saat ini, di dalam hati aku terus mengumpat karena pulang terlalu larut. Semuanya berawal dari aku yang membuka banyak percakapan di pesta ulang tahun teman alumni tadi dan berakhir pulang telat. Masalahnya bukan karena gelap atau takut dicegat hantu, tapi aku harus melewati beberapa tempat sepi untuk sampai di rumah. Dimana di tempat-tempat tersebut digosipkan sebagai sarang perampok dan pria hidung belang.

"Sial, sial, sial. Lo bodoh banget sih Rissa. Kalau begini lo juga kan yang repot." Sembari menjaga pandangan tetap fokus, aku terus mengoceh, mengumpati diri sendiri.

"Ya Allah, ini jalan sepi amat kek hidup. Ayo lah seseorang lewat gitu kek, temenin gue kenapa dah. Ntar kalau gue kenapa-kenapa gimana ini mamah??" Di tikungan yang minim pencahayaan aku kembali bicara sendiri, sengaja agar tidak terlalu sepi.

Lima menit kemudian sorot lampu dari belakang datang, membuatku senang sekaligus lega karena ada kendaraan lain yang datang. Meski setelahnya, kendaraan itu melaju kencang menyalip aku yang tengah gelisah.

"Ya Allah, lindungi hamba ya Allah."

Sayangnya aku terlalu cepat lega hanya karena kendaraan lain melintas. Di depan, persis di toko yang telah lama tutup dengan kebun jagung di seberang, orang yang seingatku datang menyalip kini melihatku seolah tengah menunggu. Mau tak mau aku berhenti setelah lewat seratus meter dari sana karena mereka berdua memblokir jalan.

"Jangan buru-buru atuh, Neng." Laki-laki yang membonceng turun membuatku menelan lidah susah payah. "Tasnya cantik tuh, bolehlah buat kita berdua."

Refleks aku memegang tas erat-erat dengan tangan kiri sementara tangan kanan tetap tergantung pada gas sepeda motor. Jaga-jaga agar bisa langsung pergi. Aku sudah siaga di tempat saat laki-laki itu tersenyum aneh ke arahku, lalu tanpa aba-aba tas yang berisi barang berharga itu ditarik paksa.

"Bang, lepasin Bang!"

"Bang, jangan diambil!"

"Diam kamu! Jangan macam-macam!"

Akhirnya kami saling menarik tas tersebut. Saking kerasnya preman itu menarik, aku bahkan hampir terjatuh dari motor. Aku semakin panik ketika melihat rekannya ikut maju. Aduh, bagaimana ini?

"Tolong! Tolong!"

Dengan akal sehat yang hampir habis karena ditelan ketakutan dan rasa panik, aku berteriak meminta tolong. Meski tak bisa dipungkiri aku putus asa karena jalan ini begitu sepi. Aku takut terluka tapi aku tak rela barang berhargaku hilang begitu saja.

"Siapapun tolong gue!!" Dengan suara hampir hilang aku berusaha mengamankan motor setelah tas berwarna cyan itu berhasil jatuh di tangan preman.

"Pergi, Bang! TOLONG!!!" Masih dikuasai rasa panik, aku memukul tangan kedua preman tersebut saat mereka menarik motor paksa.

"Jangan macam-macam atau kamu saya hajar."

Tolong hambamu ini ya Allah. Rissa nggak mau pulang dalam keadaan kayak gembel. Rissa nggak mau nyusahin mama papa nanti. Aku bertahan sekuat tenaga meski preman itu masih gencar menyerang, beberapa kali aku hampir terlempar dari motor tapi tips yang diberi Bang Parel agar tetep tangguh saat digeser berguna juga.

"TOLONG! TOLONG! TOLONG!" Lima menit bertahan rasanya sia-sia saja, sebab bukannya pergi preman itu semakin membabi buta. Salah satu dari mereka bahkan telah mengunci pergerakan, memulai aksi untuk menyingkirkanku dari sepeda motor.

OSTRANENIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang