Orang-orang bilang, mereka yang telah meninggal dunia akan berubah menjadi bintang. Jika itu memang benar, apakah Papa berada di salah satu konstelasi yang tersusun di atas sana? Ah, pada akhirnya aku lagi-lagi harus menelan kepahitan omong kosong yang terlanjur kupercayai sejak kecil.
Namun, bagi orang-orang yang mulai beranjak dewasa pemikiran-pemikiran kecil mereka yang semulanya manis bagaikan kembang gula akan berubah. Sudut pandang yang sempit pun akhirnya meluas, sisi-sisi yang semula tak terjangkau kemudian mulai merambat menjadi sesuatu yang nyata.
Pada akhirnya kita semua tahu bahwasanya anak-anak terlindungi dari kejamnya dunia karena pandangan mereka yang belum cukup luas. Kadang waktu pun tak berpihak, sehingga bukannya memperbaiki ia justru membuat semuanya semakin terasa berat.
Aku benci sebuah keadaan di mana itu membuatku terpaksa harus menerima hal yang tidak disukai, sementara mimpi yang ditanam sejak dulu-dulu sekali harus dikubur dengan air mata.
Malam yang dingin menemaniku bergumul dengan otak serta hati yang bertolak belakang. Suara pelan Mama yang bicara di seberang telepon pun sama sekali tidak membuatku membelokkan isi pikiranku yang mulai melayang.
"Aku ... bertemu Kak Juwan, Ma. Dia menonton kami. Badannya makin kurus, katanya dia bekerja di sebuah restoran dekat asramanya."
Setiap kali aku mencoba memulai pembicaraan tentang Juwan, Mama seketika diam. Padahal sesungguhnya aku mengharapkan Mama akan mempersiapkan nada tinggi untuk marah-marah, atau bilang padaku bahwa ia tidak ingin mendengar kabar dari anak sulungnya yang telah mendurhakai. Tapi heningnya Mama justru membuatku terbebani, sebab agaknya Mama menyimpan rasa rindu juga pada Juwan.
"Kapan kau pulang?" Mama mengalihkan bicara lagi.
"Besok final sekaligus pengumuman juara. Lalu lusa kami akan istirahat sebentar. Jadi, dua hari lagi," jawabku.
Mama sempat hening dalam beberapa detik. Tak sengaja dalam keheningannya aku mendengar suara seperti tarikan ingus dan isakan samar. Apakah Mama menangis? Apa itu lagi-lagi karena Juwan? Tapi pada detik selanjutnya Mama berdeham. "Sekarang kau benar-benar di penginapan, 'kan? Jangan keluar saat malam hari dan jangan pergi ke tempat-tempat hiburan yang di kota, meskipun kau bersama orang banyak!"
"Iya-iya. Di sini juga ada Taehyung. Sudah ya, Ma. Besok aku telepon lagi."
Beralih dari telepon dan menoleh ke belakang, eksistensi Bibi Cha, alias ibu kandung Taehyung mengalihkan atensiku. "Sudah? Ayo sini." Beliau menuntunku menuju ke kursi yang mengelilingi panggangan di atap, lalu mempersilakan untuk duduk di kursi kayu tersebut bersama Taehyung, adiknya dan ada ayah tirinya juga.
Adik Taehyung bernama Yesol, gadis kecil yang kini berusia tujuh tahun. Sebelumnya mereka belum pernah bertemu, tapi dalam sekejap mulai tampak kedekatan. Taehyung yang memang banyak bicara cepat dekat dengan anak-anak, biar bagaimanapun hubungan darah mungkin sedikit berpengaruh di antara mereka.
Suara desis kecil yang berasal dari minyak yang keluar dari daging panggang mengisi kekosongan malam. Bibi Cha membalik-balik potongan daging tipis di sana, sementara Yesol tampak tidak sabar menunggu daging itu matang. Sedang Taehyung dan ayah tirinya berbincang-bincang berdua, entah membahas apa saja.
Aku membantu Bibi Cha memanggang. Kami bicara banyak hal, sebab Bibi Cha juga tidak jauh berbeda dengan Taehyung. Mereka sama-sama mudah dekat dengan orang baru dan banyak bicara, ah harusnya aku ingat bahwa itu mungkin karena mereka punya hubungan darah.
"Kadang Juwan mampir ke sini. Yesol suka padanya sepertinya," ucap Bibi Cha seraya terkekeh pelan. Beberapa dialog kami berisi tentang Juwan. Seperti yang Bibi Cha katakan, bahwasanya kadang kala Juwan mampir.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJU: My Escape Notes | KTH
Teen FictionTentang mereka yang mencoba membebaskan diri dalam belenggu derita tak berujung. Tentang orang-orang yang hidup dalam sebuah mimpi yang mati. Dan tentang cara-cara mereka untuk meraih kebahagiaan di tempat yang asing. "Kita sama-sama hancur. Kita sa...