Setiap hari, saat pergi ke sekolah naik bus sampai pulang senja dengan bus yang sama lagi, aku melihat para turis terus-menerus memenuhi pantai. Aku berpikir, tidakkah mereka semua merasa pengap di pulau ini?
Mereka bilang pulau ini indah. Satu persatu dari mereka datang berkunjung, lalu kembali ke asal mereka bersama sejuta kisah tentang keindahan pulau ini. Aku tumbuh di sini, dibesarkan di pulau yang mereka sebut-sebut sebagai surganya keindahan.
Surga macam apa ini? Aku selalu merasa sesak seperti seekor burung dalam sangkar.
Setiap pagi pada jendela bus yang setengah terbuka aku menatap ke luar, di mana para pendatang bersenang-senang di pantai. Aku bingung, bagaimana bisa tempat yang begitu kubenci bisa menjadi hal yang orang-orang sukai.
Apa yang kulihat di setiap harinya membuatku benar-benar muak. Seolah-olah di sini mereka cuma mencari kebahagiaan tanpa peduli padaku yang terabaikan.
Aku benci Jeju. Aku benci laut. Aku benci kebun Paman Han yang gagal menyelamatkan aku dan Juwan lima tahun lalu. Aku benci semua orang yang ada di Jeju selain Paman Han, bahkan Taehyung pun sama membuatku muak.
Rasa bahagia muncul setiap Paman Han kembali selepas melaut selama berminggu-minggu. Aku lega di saat-saat itu. Dalam hati aku bahagia karena pada akhirnya Taehyung tidak akan makan bersama kami lagi, Taehyung tidak akan tidur di tempatku lagi.
Saat Paman Han muncul di depan rumah, aku bersorak gembira dengan tangan melambai. "Akhirnya Paman pulang!" Kalimat itu pasti disangka Paman Han sebagai ungkapan gembira dari seorang anak gadis yang merasa rindu, padahal alasan utama mengapa aku begitu menunggu kepulangan beliau adalah karena aku benci putranya itu.
Semenjak perginya Juwan dari Jeju, setiap malam tiba, aku memilih untuk datang berkunjung ke pemecah ombak di dekat mercusuar. Biasanya Taehyung akan menyusul diam-diam mengikuti langkahku. Dan jika aku sudah duduk dengan santai di atas bebatuan baru Taehyung akan menampakkan diri secara terang-terangan.
Biasanya kami akan duduk santai sambil menatap langit yang bertabur bintang bersama dialog ringan. Kadang aku bicara tentang harapan yang kutaruh di setiap doa, kadang ada juga saatnya bagi Taehyung menumpahkan seluruh keluh kesah tentang isi hatinya yang pilu sebab hidup tanpa salah satu orang tua adalah hal yang terberat.
Orang yang kubenci adalah orang yang selalu menemaniku di setiap waktu, senang, susah, bahkan di waktu-waktu mengesalkan. Ia adalah orang yang sama, yaitu Han Taehyung.
Di setiap letih menyapaku, Taehyung datang seolah namanya terpanggil dengan sendirinya. Aku tidak mengerti tentang itu dan apa pun tentang alasannya.
Aku berdiri di ujung bebatuan pemecah ombak tanpa alas kaki. Tebasan air laut yang kasar dan tidak tahu sopan santun menggelitiki kakiku yang telanjang. Sedang angin laut di malam hari berhembus merusak tatanan rambutku yang sebelumnya kusisir dengan sangat baik sebelum pergi.
"JEJU -YA!"
"JEJU -YA!"
"YAK! JEJU BERENGSEK!"
Aku kacau, kini cuma berakhir dengan tangis setelah puas mengumpati tempat yang kubenci ini. Aku hancur bersama harapanku yang nyaris tenggelam.
Kemudian Taehyung datang seraya menyentuh pundakku, saat itu juga aku menoleh padanya dan ia menatapku dengan sorot sendu. Lagi-lagi Taehyung adalah orang yang pertama kali terpanggil saat aku merasa kacau.
"Puas?" Taehyung bertanya.
"Aku sangat benci laut Jeju!"
Kemudian Taehyung menarik bahuku, membawaku masuk ke dalam pelukannya yang hangat. Aku tenang, Taehyung adalah orang kedua yang berhasil menenangkan kegelisahanku setelah Papa. "Sangat sangat benci hm?" Taehyung bergumam pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJU: My Escape Notes | KTH
Teen FictionTentang mereka yang mencoba membebaskan diri dalam belenggu derita tak berujung. Tentang orang-orang yang hidup dalam sebuah mimpi yang mati. Dan tentang cara-cara mereka untuk meraih kebahagiaan di tempat yang asing. "Kita sama-sama hancur. Kita sa...