🎶|Mulmed: Don't watch me cry|🎶
✧◝YOON SANA◜✧
Dalam hidup, aku hampir saja terbiasa dengan yang namanya perpisahan dan kehilangan. Takut? Tentu saja, tapi sudah bukan hal yang mengagetkan jika ada lagi kejadian yang tiba-tiba. Kupikir sudah banyak hal buruk yang terjadi dalam hidupku, yang bahkan membuatku benci pada tempat ini. Saat kecil Juwan pernah bertanya, tentang apa yang ingin kulakukan andai saja mendapatkan kesempatan untuk pergi dari tempat ini. Waktu itu aku terlalu polos untuk mengerti maksud Juwan, terlalu polos untuk sadar apa yang membuat lelaki enam belas tahun saat itu begitu kesusahan bahkan sering menangis secara sembunyi-sembunyi saat malam hari.
Dari buruk yang telah kulewati, rasanya itu masih belum seberapa jika dibandingkan dengan Juwan. Selain lebih tua dan lebih lama hidup, tentunya lebih banyak pula duka yang telah dilewati. Juwan pernah terancam putus sekolah saat masih SMA, tapi untungnya masa-masa sulit tersebut gampang terlewat. Namun, tetap saja setelah itu Juwan juga tidak bisa melanjutkan kuliah, semuanya karena Mama yang bersikeras. Mama bilang Juwan tidak perlu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena Juwan lebih tua maka sudah seharusnya mengalah demi perekonomian keluarga yang sulit saat itu. Alasannya karena Papa sakit, juga harus operasi dan butuh dana.
Aku tidak mengerti mengapa Juwan mudah sekali menerima semua kesulitan dengan lapang dada, di hadapan Mama tentunya. Kupikir ia hanya berakting, sebab sebenarnya dalam kamar ia menangis tersedu-sedu karena harus merelakan mimpinya yang tidak akan pernah jadi nyata. Padahal Juwan lulusan terbaik saat SMA, ia mendapatkan undangan dari universitas ternama di Seoul. Tapi lagi-lagi Mama bersikeras agar Juwan tidak melanjutkan kuliah, alasannya Mama bilang karena kuliah di tempat jauh pasti butuh biaya yang banyak. Meski biaya pendaftaran, persemester dan biaya gedung telah dibebaskan, tapi tetap saja biaya hidup di tempat yang jauh akan sangat sulit.
Juwan pada akhirnya mengalah, dengan syarat aku harus tetap bersekolah. Mama setuju, tetapi malangnya tahun lalu Papa meninggal dunia setelah komplikasi jantung. Sialnya lagi-lagi kematian Papa dianggap kesalahan Juwan, jika itu hanya sekedar tuduhan belaka mungkin aku masih bisa toleran. Tapi jika sudah begini mana bisa aku tatap bersabar, Juwan dipenjarakan tanpa alasan yang jelas. Bagaimana mungkin Mama bertindak sebegitu sembrono seperti ini, padahal Juwan juga anak Mama. Maka jangan salahkan kalau Juwan pada akhirnya tidak betah dan memilih untuk pergi.
Sejak kecil aku maupun Juwan memang tidak terlalu dekat dengan Mama. Karena Mama adalah seorang yang sangat perhitungan, mendetail dan sedikit berlebihan. Mama suka marah, mempermasalahkan hal kecil juga tidak jarang membuat aturan-aturan bodoh yang jika dilanggar akan mendapatkan serangkaian ucapan pedas yang tiada habisnya. Jangan lakukan ini, jangan lakukan itu. Harusnya yang ini saja, bukan yang itu. Kenapa kau begini, seharusnya begitu. Hal-hal kecil yang selalu Mama besar-besarkan itulah yang membuat kami bosan. Saat aku masih berumur sepuluh tahun dan Juwan menduduki angka lima belas, kami berdua sering menjadi imbas setiap kali Mama marah-marah pada Papa. Padahal kami tidak mendapatkan titik terang di mana letak kesalahan Papa yang Mama maksudkan. Hanyalah Mama saja yang berlebihan dan terlalu perhitungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJU: My Escape Notes | KTH
Teen FictionTentang mereka yang mencoba membebaskan diri dalam belenggu derita tak berujung. Tentang orang-orang yang hidup dalam sebuah mimpi yang mati. Dan tentang cara-cara mereka untuk meraih kebahagiaan di tempat yang asing. "Kita sama-sama hancur. Kita sa...