Aku kembali mengenang cerita lama di masa kanak-kanak. Kala itu aku masih bebas mengekspresikan diri lewat ucapan maupun tingkah laku tanpa harus memikirkan banyak hal. Pemikiran anak-anak memang sangat sederhana, sehingga ketika Mama tampak frustasi pun waktu itu aku masih berani mengajak pergi menonton pertunjukan ballet. Saat itu Mama menghela napas berat, tapi akhirnya Mama pergi bersamaku menuju ke gedung di kota. Seharusnya aku mengerti sejak awal bahwasanya itu adalah permulaan munculnya masalah dalam kehidupan keluarga kami.
Seiring berjalannya waktu, aku tumbuh menjadi sosok anak gadis yang selalu diliputi oleh rasa keingintahuan dan perasaan ingin melakukan banyak hal baru pula.
Suatu hari ketika pulang sekolah saat masih SMP, kepulanganku disambut oleh keributan di rumah. Juwan yang juga sama baru pulang sekolah dengan seragam SMA-nya terdiam di ambang pintu seraya menatapku horor. Jauh dari perkiraanku sebelumnya, Mama mengumpulkan semua barang-barang milikku yang berhubungan dengan ballet. Mama memasukkan semuanya ke dalam sebuah kardus besar.
"Ma, mau diapakan punyaku?" tanyaku pada Mama saat itu seraya berjalan tergesa-gesa menghampiri Mama dan mencoba mengambil alih semua barang-barang dalam kardus tersebut.
Namun, Mama seolah tutup telinga dan tidak memperdulikan aku yang berusaha keras untuk mempertahankan semua itu, bahkan hingga pipiku telah dibasahi oleh air mata yang menganak sungai. "Menjauh! Mama akan membuang semua ini. Kau tidak boleh ikut ballet lagi." Maka setelah tutur Mama mengudara kala itu, aku pun membeku kehabisan kata-kata.
Tanpa melakukan perlawanan secara fisik ataupun dengan ucapan, aku runtuh lebih dahulu. Juwan yang menyaksikan seketika menghampiri dan menyangga badanku yang nyaris limbung akibat rasa kaget yang luar biasa. Dan setelah itu Mama pergi membawa kardus besar berisi barang-barang milikku keluar rumah. Aku tidak tahu semua itu akan diapakan, entah dibakar, dibuang ke laut, diberikan pada orang lain, atau mungkin dijual. Aku tidak tahu dan di hari itulah kali terakhir aku melihat semua barang-barang hasil kerja kerasku selama ini.
Masa-masa sulit setelah itu perlahan-lahan mengubahku menjadi pribadi yang tertutup, terutama pada Mama. Selama setahun aku mencoba melupakan segala hal yang berkaitan dengan ballet, tetapi di tahun berikutnya aku gagal. Harusnya sejak awal aku sadar bahwasanya ballet nyaris mendarah daging dalam diriku, sehingga ketika mencoba melupakannya aku justru dibuat semakin terluka.
Jalan yang kulewati setiap pulang sekolah masih satu arah dengan gedung seni tempat aku menari biasanya. Setiap pulang dengan naik bus, saat aku melihat orang-orang yang keluar dari gedung itu membuatku iri. Aku cemburu pada mereka yang bisa melanjutkan mimpi mereka, sedangkan aku tidak. Mimpiku harus direlakan tenggelam begitu saja meski hati dan pikiran terus-menerus ingin memaksa. Ketika itu aku tidak punya pilihan apa pun, benar-benar tidak ada jalan lain, kecuali menerima semua yang Mama katakan dengan lapang dada.
Pada saat kondisi Papa memburuk lalu meninggalkan kami semua, dan setelahnya hal buruk menimpa Juwan sehingga ia terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman, ketika itu aku tersadar betapa dunia merenggut banyak hal di hidupku dalam waktu yang singkat. Semenjak Papa sakit, kondisiku juga jauh dari kata baik-baik saja. Sejak awal aku maupun Juwan sudah sama-sama merasa seolah-olah kemalangan sedang senang menguji kami.
Usaha-usaha yang kulakukan secara diam-diam untuk mengikuti ballet di tengah masa sulit setelah meninggalnya Papa dan kepindahan Juwan adalah hal terberat yang pernah kulakukan.
Jadi, bukanlah usaha yang singkat untuk aku bisa berdiri di panggung proscenium yang semegah ini bersama sebuah thropy berwarna emas dengan perasaan bangga. Namun, tetap saja ini bukanlah usahaku sendirian. Ada Jaejun, Yuri, Jina dan anggota lainnya. Juga ada Produser Kim dan Nona Mari yang bekerja keras di belakang kami. Tentu tidak lepas pula dari dukungan Juwan dan Taehyung.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJU: My Escape Notes | KTH
Teen FictionTentang mereka yang mencoba membebaskan diri dalam belenggu derita tak berujung. Tentang orang-orang yang hidup dalam sebuah mimpi yang mati. Dan tentang cara-cara mereka untuk meraih kebahagiaan di tempat yang asing. "Kita sama-sama hancur. Kita sa...