Di atas susunan batu pemecah ombak, ditemani semilir angin serta ombak laut pasang yang menggelitik kaki, aku berdiri menghadap purnama yang kesepian di atas sana. Ia begitu indah, bersinar terang mengalahkan objek di sekelilingnya yang lebih redup. Namun, keindahannya justru tidak terlihat sama dari bayangannya di permukaan air, semuanya hancur oleh ombak.
Baru dua jam yang lalu Taehyung berangkat meninggalkan Jeju dengan kapal terakhir yang berlabuh di senja hari. Dia melambaikan tangan, tersenyum, dan berdoa untuk orang-orang di Jeju yang tertinggal semoga diberi kesehatan selalu, juga untuk keselamatan dirinya sendiri. Paman Han pasti bangga karena memiliki putra sepintar Taehyung. Bahkan ketika berpisah dengannya pun beliau seketika membuang muka demi menyembunyikan air mata yang keluar dengan tidak tahu diri.
Juwan sudah tidak ada di sini, begitu pula dengan Taehyung. Tidak ada anak lain yang sebaya denganku di lingkungan ini. Tapi begitu teringat Chan yang biasa usil selama terkumpul denganku dalam satu sekolah tiba-tiba membuatku ingin kembali ke waktu belakangan. Aku teringat akan kenalan Chan, begitu juga dengan Taehyung yang selalu membelaku habis-habisan sampai berujung berkelahi dengan Chan.
Ah, Chan juga sudah pergi ke Seoul tepat satu hari setelah hari kelulusan kami. Terakhir kali mendengar kabarnya adalah kemarin, ketika dia mengirimkan foto Yuri dan Jaejun yang tidak sengaja bertemu dengannya di sebuah tempat makan pinggir kota. Mereka berkuliah di kampus yang sama, tetapi fakultas yang berbeda. Makanya bertemu seperti itu bukanlah hal yang sering terjadi.
Merayakan hari jadi mereka yang pertama, Jaejun dan Yuri pergi menghabiskan hari ke kota. Dalam foto yang dibagikan Chan lewat grup obrolan, mereka bertiga melakukan selfi seraya mengangkat dua jari, membentuk huruf v dengan telunjuk dan jari tengah masing-masing.
Sepertinya hanya aku saja yang tertinggal di sini. Namun, ini tidaklah terlalu buruk selagi masih ada bulan yang tidak jauh kesepian daripada diriku sendiri. Dan hembusan angin ini bagai simfoni yang perlahan membawa tubuhku pada perasaan yang berbeda.
Secara perlahan, pikiranku yang kalut mulai terangkat begitu aku mulai bisa menggerakkan badan dengan ringan. Aku ingin menari sekarang. Di bawah pancaran sinar purnama, ditemani oleh debur ombak serta simfoni dari sang angin.
Ketika orang-orang berjalan maju menjalani kehidupan mereka masing-masing, kurasa hanya aku saja yang masih tertinggal di tempat yang sama.
Hingga tanpa terasa, bulan pun menghilang ditutupi awan gelap, lantas disusul oleh gerimis yang lama-lama semakin deras membentuk butiran yang lebih besar. Aku melepas sepatu dan kaus kaki, lalu menari di bawahnya dengan pakaian basah. Kubiarkan rambutku terurai diguyur hujan, begitu juga kedua kakiku yang telah telanjang.
Beberapa saat aku tidak ingin membuka mata. Dengan mata memejam aku berpijak pada pemecah ombak dan terus menari, sementara hujan semakin membasahi. Aku hanya ingin seperti ini meski pagi datang dan awan gelap ini tersingkap oleh terang matahari. Dan aku masih tidak ingin membuka mata, juga tidak ingin melihat ke bawah, di mana kakiku yang telanjang mulai terasa perih disebabkan oleh latihan kerasku dari beberapa hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJU: My Escape Notes | KTH
Teen FictionTentang mereka yang mencoba membebaskan diri dalam belenggu derita tak berujung. Tentang orang-orang yang hidup dalam sebuah mimpi yang mati. Dan tentang cara-cara mereka untuk meraih kebahagiaan di tempat yang asing. "Kita sama-sama hancur. Kita sa...