4. Harap-harap mereka

71 14 6
                                    

✧⁠◝YOON SANA◜⁠✧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


✧⁠◝YOON SANA◜⁠✧

Aku kesulitan tidur malam ini, sebab mimpi itu datang lagi. Dalam mimpi itu aku berdiri seorang diri di tengah panggung proscenium yang luas dan megah, aku mengenakan tutu serta leotard berwarna putih senada dan aku berdiri di belakang tirai merah yang tertutup. Alunan musik pengantar yang pernah Produser Kim sebut sebagai overture mulai dimainkan. Kemudian tirai dibuka dan aku menoleh ke belakang menatap para ballerina lainnya yang sedang bersiap. Ketika kakiku melangkah maju, sorak-sorai serta suara hentakan kaki bergemuruh di telingaku. Waktu seolah terhenti, semua penonton, kru, pemain musik dan bahkan ballerina yang lain menghilang entah ke mana. Kosong, panggung itu kosong dalam sekejap mata seolah sebuah portal ke dunia lain menghisap mereka semua.

Dalam mimpi itu aku beku seperti orang yang kehilangan akal. Kemudian suara langkah kaki yang keras mengatuk lantai dari marmer hingga tercipta suara yang menggema, yang berasal dari pintu utama. Rupanya itu adalah Mama, yang kemudian berhenti tepat di tengah-tengah kursi penonton yang kosong. Mama menatapku tanpa berkedip dalam waktu yang lama, kemudian langsung pergi begitu saja lewat pintu yang berbeda. Aku sendirian di sana.

Biasanya mimpi itu akan datang saat aku terlalu memikirkan tentang Mama. Dan malam ini ia datang lagi, mengganggu tidurku hingga tak bisa kembali memejamkan mata. Jam di dinding menunjuk ke angka dua dini hari, aku langsung beranjak bangun dan mengambil ponsel. Juwan mengirim pesan. "Aku rindu," begitu isi pesannya. Melihatnya aku langsung menghela napas sembari menyandarkan badan pada kepala ranjang.

Sebentar aku berdiam diri melamun sampai terdengar suara ketukan dari arah pintu menuju balkon. Awalnya aku terkejut, karena malam-malam begini bisa-bisanya ada yang mengetuk pintu, terlebih lagi itu adalah pintu balkon yang jelas cuma jalan buntu. Sebelum membukanya aku sudah tahu bahwa itu pasti Taehyung. "Bagaimana?" tanyaku ketika melihat ia yang berdiri di depan pintu dengan wajah kedinginan.

"Cepat," ucapnya seraya menaikkan kaki melewati pagar balkon dan menuruni tangga yang ia gunakan untuk naik sebelumnya. Melihatnya aku hampir tidak percaya. Oh ayolah, ini adalah orang yang sama dengan yang sering berulah membuat Mama marah padaku. Ia ini adalah laki-laki menyebalkan yang sama sekali tidak dapat kuhindari, tapi kini ia menolongku. "Jangan buat suara berisik." Taehyung beri peringatan dengan suara pelan sekali seraya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir ketika aku hendak menyusulnya menuruni tangga. Aku menurut saja, padahal biasanya kami jarang kompak begini.

Kami pergi menuju tempat pelelangan ikan. Rupanya sudah ada banyak orang di pagi buta begini. Ada Nenek Mijin yang bersiap membuka toko buah dan sayurnya, ada juga Bibi Injeong yang juga siap-siap menjual ikan. Kami sampai di tempat pelelangan bertepatan dengan Kapten Jae yang juga baru tiba dengan truknya. Pria tiga puluh tahun itu berjalan menuju tempat pelelangan, tapi sebelum ia sampai Taehyung sudah lebih dahulu menghadangnya.

Kapten Jae menatap Taehyung dengan alis terangkat. "Juwan. Sana mau ketemu Juwan," ucap Taehyung membuat kapten Jae menoleh ke arah aku yang berdiri agak berjarak dari mereka. Sorot tatapannya benar-benar dingin, aku sama sekali tidak dapat menebak karakter Kapten Jae sejak pertama kali kami bertemu. "Juwan pergi bersamamu, 'kan? Satu-satunya harapan kami-"

JEJU: My Escape Notes | KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang