Part 2

41 9 9
                                    

Tangan berhias henna merah maroon itu mengambil dengan telaten hidangan yang berjajar rapi di atas meja prasmanan. Tidak tanggung-tanggung, tiga potong ayam dia taruh di tepi nasi beserta seporsi tumis sayur, cap cai, perkedel, tidak ketinggalan kerupuk. Dua wanita yang turut antri di belakang gadis itu hanya bisa geleng-geleng kepala sembari berbisik-bisik.

Gadis dengan henna yang membantu ornamen bunga mawar di punggung tangannya itu melahap makanannya tanpa mempedulikan omongan orang-orang.

“Astaga, apa yang kau makan, Aarvi?” tanya Saras yang keheranan dengan porsi makan ponakannya.

Aarvi, gadis pemilik henna berbentuk bunga mawar itu belum bisa menjawab, dia harus mengunyah makanan di mulutnya lebih lembut lagi untuk ditelan.

“Kau ini sudah cukup umur untuk menikah, mengapa kau seolah mengabaikan dirimu sendiri, Nak. Dengar, apa untungnya makan sebanyak ini, kau bisa gendut dan tidak ada pria yang mau denganmu. Seharusnya kau banyak belajar dari Anaya, dia rajin berolahraga, menjaga pola makannya, dan kau lihat, dia memiliki kekasih yang tampan rupawan, memangnya kau juga tidak tertarik?”

Ucapan Saras memaksa Aarvi untuk menelan kasar makanan yang bersarang di mulutnya. Walaupun dengan tersendat-sendat, Aarvi tetap memaksakan menelan makanan itu dan berujung sesak napas. Aarvi menunjuk-nujuk botol minum di meja, meminta Saras mengambilkan selagi dirinya menepuk-nepuk dada.

Saras memberikan botol minum pada keponakannya. Tanpa buang-buang waktu, Aarvi meneguk air yang berada di dalam botol hingga tak bersisa. Dia menghela napas cukup panjang dengan diiringi seutas senyum. Lalu, Aarvi menoleh ke bibinya yang masih berdiri di depan kursinya.

“Ayolah, Bibi. Aku makan bukan berarti tidak akan mendapat jodoh. Lagi pula, aku sungguh kelaparan, sejak pagi aku sibuk menyiapkan ini itu untuk pertunangan Anaya,” balas Aarvi menaruh piringnya yang telah kosong di meja.

“Kau benar, tapi, Nak. Makan memang tidak mempersulit jodoh. Tapi ... sampai kapan kau akan mengurusi pesta pernikahan orang lain? Adik-adikmu, sepupumu, mereka sudah menikah semua, dan kau?” Saras mengambil kursi yang semeja dengan keponakannya itu.

Kemudian, datanglah Salma, adik ibunya membawa teman-teman arisannya mendekati Aarvi dan Sari yang  terpisah dari keramaian pesta.

“Bibimu benar, Aarvi. Gadis seumuran denganmu sudah memiliki keluarga kecil mereka, membangun impian dengan suami mereka, membeli ini itu, liburan bersama dan banyak lagi. Kau tidak mau ‘kan menyendiri seumur hidup?” tukas Salma.

“Ya, ya, ya. Itu akan sangat menyedihkan, Aarvi. Jika kau mau, Bibi akan mengenalkanmu dengan putra Bibi.” Usulan Kartika disambut ‘nah' oleh para wanita sosialita yang menggerubungi Aarvi.

Aarvi merasa tercekik. Hal seperti itulah yang paling membuatnya malas datang ke pesta pertunangan atau pun pernikahan. Dia sungguh benci dengan perjodohan atau apapun yang berhubungan dengan hal itu.

“Tidak, Bibi. Terima kasih atas tawarannya,” kata Aarvi dengan malas. Dia berkemas, mengambil ponsel di atas meja, memasukkannya ke tas.

“Permisi.” Aarvi hengkang begitu saja tanpa mempedulikan apa yang akan dibicarakan para ibu-ibu itu tentang dirinya.

Setelah berpamitan kepada Anaya dan tunangannya, Aarvi bergegas keluar dari venue pesta pertunangan sepupunya yang diadakan di sebuah restoran mewah. Karena kesal sendiri, Aarvi memutuskan untuk pulang jalan kaki saja, lagi pula, dia lupa tidak membawa uang sepeser pun.

Sejujurnya, Aarvi sedikit membenarkan ucapan Saras. Dia tidak mungkin menyendiri seumur hidupnya. Pertanyaannya di sini, siapa dan di mana pria yang akan menjadi pasangannya? Mengapa dan kenapa orang-orang bisa semudah itu menemukan pasangan mereka. Dan dirinya? Sampai sekarang tidak ada pria manapun yang mendekatinya.

Tidak peduli gaunnya kotor, Aarvi main duduk di tepi trotoar, lalu merenung. Dia mengangkat kedua telapak tangan, berdoa kepada Tuhan seusai memejamkan mata.

“Ya Allah, Engkau tahu ‘kan, hamba ini baik hati, tidak sombong, suka tolong-menolong, dan tidak suka berbohong. Jadi, ya Allah. Hamba mohon, tolong kabulkan permintaan hamba yang satu ini saja. Kedengarannya memang sedikit konyol ya Allah. Tapi hamba tidak ada pilihan lain. Ya Allah, tolong, datangkan jodoh hamba, saat ini juga ya Allah. Hamba capek ditanya kapan nikah terus. Hamba mohon ya Allah.”

Aarvi merasa ada sebuah benda yang mendarat di telapak tangannya. Dia membuka mata, terkejut mendapati selembar uang kertas yang berbeda dari uang pada umumnya.

“Si-siapa yang memberiku uang ini? Dikira aku pengemis apa?” Aarvi membolak-balikkan uang bermata uang rupee itu. Bola matanya membulat sempurna. “Aihhh, i-ini ‘kan?”

Aarvi menoleh, mengamati pria yang baru sepuluh meter berlalu darinya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas, dia bangkit, berlari mengejar pria yang dia yakini sebagai pria India.

Kini, Aarvi berjalan tepat di belakang punggung pria itu. Dia belum tahu persis bagaimana wajah pria itu, yang pasti, dia sangat yakin, pria itu sangatlah tampan. Aarvi tidak berhenti tersenyum sembari membayangkan betapa tampannya pria yang dia buntunti.

“Astaga, astaga!” Aravi hampir-hampir berteriak kegirangan. “Ya Allah, terima kasih terima kasih, hamba tahu, Engkau tidak akan mengecewakan hamba yang baik hati dan tidak sombong ini. Terima kasih terima kasih.” Aarvi mengangkat-angkat kedua tangan sebagai tanda syukur.

Merasa dibuntuti, pria di depannya itu berbalik dan sontak mengharuskan Aarvi mengerem kaki.

Aarvi menutup mulutnya yang hampir saja menganga lebar. Dia kehabisan oksigen saat pemilik  wajah tampan rupawan khas India itu menampakkan diri. Angin sepoi-sepoi ikut serta merasakan getaran-getaran aneh yang menyerang Aarvi. Cahaya matahari bak menyorot wajah putih bersih dengan berengos tipis di sepanjang dagu pria yang tak lain ialah Abhi itu. Suara nyanyian seakan datang dengan syahdu, mengatakan bahwa pria itu adalah jodohnya.

“Bukankah gadis ini yang tadi mengemis?”

Abhi berusaha menyadarkan gadis di depannya yang tidak berhenti memandanginya tanpa kata jeda. Dia menjentikkan jari beberapa kali, tapi tak berhasil.

“Are you okay?”

Ucapan Abhi yang kental dengan aksen Bahasa Hindi sontak membuat Aarvi kelabakan. Aarvi hanya mengangguk sembari menatap kagum Abhi.

“Main aabhaaree hoon,” (Syukurlah) ujar Abhi sebelum berlalu.

Sontak, Aarvi yang mendengar pria itu berbicara dengan Bahasa Hindi pun semakin terpesona. Dia tahu, dia sama sekali tidak mengenal pria itu, hanya saja, dia sudah sangat yakin, pria India itu adalah jodohnya. Untuk itulah, dia tidak akan membiarkan pria itu pergi begitu saja tanpa memberinya nama, alamat, atau pun nomor telepon.

Aarvi kembali membuntuti Abhi yang tengah berjalan menuju halte tak jauh dari tempat mereka berhenti tadi.

“Astaga Tuhan. Ini lebih dari yang kuminta. Dia ... aih, India, India sekali!” Aarvi ber-hore ria di belakang Abhi yang sibuk memainkan ponsel.

Mereka telah sampai di halte. Aarvi menyusul Abhi yang duduk di dalam halte. Kehadiran gadis itu memancing Abhi untuk menoleh.

You?”

Aarvi mengangkat satu tangan ragu-ragu. “Hai. Em ... sorry, Sir.”

“Sir?” Abhi nampak terkejut mendapat panggilan itu. Apakah dia setua itu hingga gadis di sebelahnya memanggilnya begitu?

“Em, sorry, sorry. Matlab, Bhaai. Aish ... what  your name?” ( .... Maksudku, Kak. ...) Aarvi mengoreksi kebodohannya saat dihadapkan dengan pria yang membuatnya merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia menggeleng tegas. “Aap ka naam kya hai? Mere naam, Aarvi.” (Siapa nama Anda? Namaku, Aarvi) Dia mengulurkan tangan, berkenalan.  

Abhi lebih dibuat terkejut saat mengetahui gadis itu berbicara menggunakan Bahasa Hindi. Dia tersenyum penuh arti sekaligus tak percaya ada gadis di negara ini yang berbicara menggunakan bahasa negaranya. Yang bahkan, gadis itu main memperkenalkan diri saja.

You can speaking Hindi?”

Aarvi mengangguk mantap. “Of course!”

***

Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang