Part 8

10 4 0
                                    

Diam-diam di belakang Aarvi, Abhi masih menyimpan harapan besar agar ponselnya dapat menyala. Sudah berkali-kali dia menekan tombol on, nihil! Sia-sia saja. Dia menyerah, memilih fokus pada jalan setapak di depan ditemani sorot lampu ponsel milik Aarvi. Semula, dia meminta perempuan itu berjalan di depan, tetapi, Aarvi menolak dan membiarkannya berjalan di depan. Sempat terjadi perdebatan yang berakhir Abhi mengalah.

“Apa perjalanannya masih jauh?” tanya Abhi menoleh singkat.

“Perjalanan yang mana? Perjalanan ke mobil atau perjalanan ke rumah sainganku itu?”

Abhi berhenti, dikuti Aarvi tentunya. Pria itu memutar badan, menghadap Aarvi yang menurunkan sedikit ponsel agar penglihatan Abhi tidak terganggu sorot lampu. 

Sambil menenteng sepasang sepatu berlumuran lumpur, Abhi menjawab, “perjalanan menuju rumah Nisha.”

Mendengar nama Nisha disebut, Aarvi seolah hilang nafsu bicara. “Oh.”

“Masih jauh?” tanya Abhi.

“Ya ... lumayan. Jika saja kita tidak terjebak di sini, siang nanti kita sudah sampai,” kata Aarvi dengan malas.

“Benarkah?”

“Sudah-sudah, ini bukan waktu yang tepat membahas perempuan itu. Lebih baik kita segera kembali ke mobil, yang lain pasti sedang mencemaskan kita,” tukas Aarvi. Sangking kesal, dia menyerobot posisi Abhi yang semula di depannya dan main meninggalkan pria itu tanpa penerangan.

“Nisha, Nisha, Nisha! Aku rasa, otaknya itu juga tertulis nama Nisha! Bisakah dia berhenti mengharapkan perempuan yang mungkin saja tidak mencintainya?” Batin Aarvi berapi-api.

Sekembalinya mereka dari sawah, mereka disambut wajah-wajah cemas oleh semua orang. Anita memeluk putri sulungnya dengan isak tangis.

“Sudahlah, Ibu. Aku sudah ada di sini, Ibu tidak perlu menangis. Aku bukan Kirana atau Kinara yang akan jalan menuju sawah lalu tersesat. Aku tahu jalan pulang,” ucap Aarvi menenangkan sang ibu.

“Ibu hanya takut, kalian kenapa-napa dan ....”

Sssttt ... Ibu tidak boleh berpikiran buruk. Sudah-sudah, aku harus mencari tempat untuk membersihkan diri.”

Kumandang azan subuh yang terdengar dari jarak ratusan meter menghentikan percakapan ibu dan anak itu.

“Ada masjid di sekitar sini. Bagaimana jika, aku ke sana untuk bersih-bersih?”

“Ta-tapi itu jauh, Aarvi,” tukas Anita.

“Main isaka samarthan kahunga, Madam.” (Saya akan menemaninya, Bu)

Anita melirik Abhi, lalu ke putrinya. Kemudian, Aarvi berkata, “Abhi bilang, dia akan menemaniku.”

Wanita paruh baya itu kembali menoleh ke Abhi, tersenyum. “Thank you.”

“Ya sudah. Kalian baik-baik di sini, aku akan segera kembali. O iya, aku juga akan mencari bantuan nanti, siapa tahu, ada orang yang mau membantu kita,” ucap Aarvi.

“Berhati-hatilah, Nak.” Dia beralih ke Abhi. “Tolong, jaga putriku, Abhi.”

Abhi hanya mengangguk-angguk saja. Lalu, dia menyusul Aarvi yang mengambil baju ganti. Namun, pergerakan keduanya memancing Kirana bangun, pasalnya, tas Aarvi  dibuat bantal olehnya.

“Bibi Aarvi sama Paman Abhi mau ke mana?” tanya Kirana mengucek-ngucek mata.

Aarvi berdesis seraya menaruh jari telunjuk di depan bibir. 

“Tidak kemana-mana. Udah, Kirana bobok lagi, ya?” ujar Aarvi lirih, tidak ingin membuat kedua adik dan keponakannya bangun.

Kirana menurut dan kembali memejamkan mata. Setelah berhasil mengambil pakaian, Aarvi keluar, menyambangi Abhi yang sudah menunggu.

Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang