Part 5

11 4 0
                                    

Bendera putih berkibar jika sudah berurusan dengan wanita. Terpaksa, Satya mengiyakan apa yang ingin mereka lakukan kepada teman barunya itu. Satya tidak dapat berbuat apa-apa saat Abhi yang baru masuk ke dalam rumah dikalungi rangkaian bunga kertas, sebab tidak ada waktu untuk membeli bunga asli. Abhi juga ditaburi kelopak bunga mawar merah yang dipetik dari halaman depan oleh kedua adik Aarvi.

Sedangkan Aarvi? Dia menunggu di ujung dengan senyum tersipu. Keduanya bertemu, Abhi yang sudah lelah hanya bisa menggeleng-geleng pasrah.

“Kau senang?”

Mein bohoot bohoot khush.” (Sangat-sangat senang) Aarvi menekan setiap kata yang diucapkan.

Anita menghampiri keduanya, memberikan kotak kecil merah pada Abhi. Pria itu tidak langsung menerimanya, dia menoleh ke Satya yang mendesah pasrah sembari bersandar tembok. Satya menggeleng dan langsung diserang tatapan sengit oleh istrinya.

Tak ada pilihan lain, Abhi main menerima kotak kecil merah pemberian Anita. Dia membuka kotak tersebut, mencari tahu apa isinya. Sebuah cincin berdiam diri di dalam sana. Abhi menutup lagi kotak merah di tangannya.

“Maukah kau menjadi menantuku, Nak?” Anita memohon dengan sangat.

Meskipun, dia tidak begitu paham apa yang dikatakan para wanita itu, cincin ditangannya sudah cukup membuatnya paham.

“Maaf, Bibi. Lekin, mein nahin kar sakata.” ( ... Tapi, saya tidak bisa) ujarnya. “I'm, sorry.”

“Apa yang dia katakan?” tanya Anita kepada semua orang. Meera dan Tina menggelengkan kepala, tanda tak tahu. 

“Sepertinya dia tidak mau, Ibu.”

“Aku kira juga begitu.” Tambah Tina.

Senyuman di wajah Anita padam, dia menjadi lesu karena lamarannya untuk sang putri sulung ditolak oleh pria itu. Anita yang lemas memilih duduk, diikuti Meera dan Tina yang memberi dukungan untuk sang ibu.

“Astaga, kapan kalian menyelesaikan drama India ini, ha? Aku sudah muak melihatnya,” celetuk Satya di ujung tembok. Sontak, tatapan sengit dia dapat lagi dari Meera.

“Sudahlah Ibu. Jangan bersedih, pasti Kak Aarvi akan bertemu pangeran India lainnya.” Hibur Meera pada ibunya yang berpura-pura menangis.

Anita mengusap air mata yang bahkan tidak keluar. “Mengapa nasib percintaan putriku seburuk ini, Tuhan? Saat menantu yang sangat aku idamkan datang, justru putriku ditolak mentah-mentah. Aku sangat sakit hati,” ujarnya diiringi sesenggukan tangis palsu.

Sekarang, waktunya Aarvi bermain. Dia menunjuk ketiga wanita yang tengah duduk meratapi nasib buruknya. “Dekho! Aapane sabhee ko niraash kiya. Apa kau tidak kasihan melihat Ibuku menangis karena lamarannya ditolak olehmu, ha?” (Lihat! Kau mengecewakan semua orang....) Setidaknya, Aarvi mengangkat suara.

“Ta-tapi. Dengar, ini sungguh konyol. Bagaimana bisa Ibumu melamar pria yang tidak dia kenal  untuk putrinya? Aku baru saja datang ke rumah ini, Aarvi.” Dia membela diri.

“Lalu, apa masalahnya? Itu sah-sah saja bukan?”

“Nahin!”Abhi menggeleng tegas. Dia mencopot kalung bunga yang bertengger di leher, menghampiri Satya.

Abhi mengatakan, dia tidak bisa tinggal di rumah ini bila harus menerima lamaran ibu mertua Satya. Dia juga menegaskan telah memiliki kekasih yang akan dia nikahi dalam waktu dekat. Saat Abhi bersikukuh ingin pergi, Satya tidak bisa menahan. Dia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Abhi.

Melihat pria itu hendak hengkang, dua gadis kecil yang merupakan putri dari Satya menutup pintu.

“Paman. Tolong menikahlah dengan Bibi Aarvi. Dia sangat baik, Paman. Bibi Aarvi sering membelikan kami es krim, mainan, dam mengajak kami jalan-kalan,” kata gadis kecil berjaket biru.

Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang