Perjalanan kembali berlanjut. Kali ini, Satya mendapat giliran menyetir. Dia menoleh ke Abhi yang duduk bersandar sembari menatap lama foto perempuan berjilbab hitam di layar ponsel.
“Sejujurnya, aku tidak pernah menyetujui dirimu dengan Kak Aarvi.”
Pertanyaan Satya sontak memancing pria itu menengok, seolah balik bertanya.
“Dengar, Abhi. Kakak laki-lakiku, dia menyukai Kak Aarvi. Hanya saja, Kak Aarvi itu keras kepala, dia hanya akan menikah dengan pria India,” tukas Satya.
“Kenapa harus pria India?” tanya Abhi memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, lalu menyimak penjelasan Satya.
“Seperti yang kau lihat. Keluarga istriku itu pemuja film India, lihat saja, mereka sudah seperti orang lokal di India. Gaya bicara mereka, pakaian mereka, makanan favorit mereka, lagu favorit mereka, bahkan kau tahu, Kak Aarvi sampai ikut sanggar tari India,” jelasnya.
“Bukankah mereka sangat berlebihan, Abhi?” tanya Satya menambahi.
Satu kata pun tak keluar dari mulut Abhi, dia hanya mengulum senyum seutas karena bingung ingin menjawab apa. Satu sisi, dia bangga, budaya dan negaranya dihargai bahkan oleh orang-orang luar negeri seperti halnya keluarga Aarvi. Di sisi lain, Abhi juga ditaburi cemas dengan obsesi Aarvi terhadap negaranya.
“Satu lagi. Sebenarnya, Kak Aarvi akan ke India tiga tahun lalu untuk mengambil S-2. Tapi ... ayah mertuaku meninggal karena serangan jantung saat tahu Kak Aarvi membatalkan pertunangannya dan memilih mengejar S-2 di India itu. Akhirnya, Kak Aarvi memutuskan untuk mengelola bisnis rumah makan peninggalan ayah mertuaku.” Satya menepuk pundak Abhi lembut. “Walaupun aku tidak setuju kau dengan Kak Aarvi. Dan, bukankah kau sudah memiliki perempuan lain yang kau cintai?”
Abhi menjawab, “ya. Kau benar. Lalu?”
“Meskipun kau tidak menyukai Kak Aarvi dan tidak bisa membalas cintanya. Aku mohon, setidaknya hargai cintanya. Sebelum-sebelumnya, Kak Aarvi tidak pernah setulus dan senekat ini mengejar seorang pria.” Pinta Satya.
Abhi memutar sedikit badan ke belakang, mengintip wajah lelah Aarvi yang tidur bersandar bahu sang ibu dengan suara dengkuran lirih. Kedua sudut bibirnya tertarik singkat.
“Apa salahnya menghargai cintanya yang begitu berharga? Cinta yang bahkan tak dapat kutukar dengan perasaan yang sama. Aku harap, kau bisa mengerti situasi ini, Aarvi. Kita saling beriringan mengejar orang yang mencintai orang lain. Bukankah itu situasi yang lucu?”
Tepat saat Aarvi tiba-tiba membuka mata, Abhi buru-buru memperbaiki posisi, mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan.
“Hey, you! Ternyata ... diam-diam kau memperhatikanku tidur, ya?” tanya Aarvi menaruh lipatan tangan di atas punggung kursi Abhi.
“Dengar, Kak. Abhi hanya ingin mencari tahu suara dengkuran siapa yang menakutkan itu,” ledek Satya.
Aarvi menonjok bahu Satya. “Sembarangan! Aku tidak mendengkur,” elaknya.
“Kau memang tidak mendengkur, tapi mengaum.” Kata Satya diiringi cekikian tawa.
Aarvi yang kesal kembali menonjok lengan atas adik iparnya itu hingga membuat pergerakan mobil sedikit oleng. Mereka menyuarakan jeritan lirih ketika mobil itu hampir saja keluar jalur.
“Kak!” Desis Satya.
“S-sorry, kau yang memulai duluan.”
Merasa ada yang tidak beres dari laju mobil, Satya memilih menepikan mobil di tepi persawahan yang begitu luas.
“Ada apa?” Bahkan, pertanyaan Aarvi tidak dijawab karena Satya buru-buru keluar mengecek ban mobil.
Abhi yang bertanya pada Aarvi mengalami hal serupa. Pertanyaannya hanya dijawab angin lalu, sebab, perempuan yang ditanyai justru berlalu menyusul Satya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)
RomanceJuara 1 Wrileto Penerbit CMG Bekasi 03 [ROMANCE || RELIGI] *** Aarvi tidak pernah berhenti mengejar cinta Abhi. Dia tidak peduli seberapa besar cinta Abhi pada Nisha, perempuan yang ternyata sahabat lama Aarvi. Bahkan, Aarvi rela menemani Abhi memp...