Part 13

11 3 0
                                    

Sedetik pun tak pernah terbesit di benak Hans, dia akan bepergian jauh bersama perempuan yang baru dia kenal beberapa jam lalu. Ditambah, pertemuan mereka tidaklah mulus, ada banyak kekacauan yang terjadi. Dan kini, perempuan yang mengacaukan kisahnya duduk bersandar bahunya yang kosong, menyulam mimpi-mimpi di sepanjang tidurnya.

Dari wajah Aarvi saja, Hans tahu, perempuan itu sangatlah kelelahan. Walaupun suara dengkuran Aarvi membuat telinganya sakit, tapi entah mengapa, dia serasa menikmati itu. Dia ... nyaman saat perempuan tersebut berada di dekatnya.

Ketika Hans hendak menepikan seutas rambut Aarvi yang menutupi wajahnya, tiba-tiba perempuan itu terbangun dan langsung menarik kepalanya.

“Maaf-maaf, aku tidak tahu.” Aarvi yang gugup membenahi letak rambutnya. Dia merubah posisi duduk menjadi bersandar. Kurang dari satu menit, dia kembali tertidur.

Hans yang menyaksikan itu terkekeh lirih. Tidak ingin membuat Aarvi kembali bangun, Hans beralih ke ponsel yang sejak tadi berada di genggaman tangan. Iseng, Hans mengambil potret polos Aarvi ketika tertidur. Setelah mendapatkannya, dia memandang sejenak foto itu.

Andai saja, kau adalah Nisha Aarvi. Aku yakin, hatiku kini tidak akan kekurangan apapun.”

***

Mendapat pelayanan penerbangan first class tidak pernah ada di dalam daftar impian Aarvi. Setibanya di Bandar Udara Indira Gandhi, dia disambut dua pria berjas hitam yang membawa mereka keluar bandara. Aarvi tidak banyak bertanya kepada Hans mengenai kemewahan yang dia dapat selama penerbangan Jakarta-Delhi.

Satu pria berjas hitam membukakan pintu mobil hitam yang Aarvi duga berharga miliaran. Sedang, pria berjas hitam satunya mempersilakan keduanya masuk. Aarvi yang tidak pernah mendapatkan pelayanan istimewa itu tentu gugup.

“Sungguh kita akan naik mobil ini, Hans? Maksudku, ini terlalu berlebihan.”

Hans menurunkan posisi pundak. “Diam dan masuk saja!” tegasnya.

“Ya, ya, ya. Aku masuk.”

Kini, Aarvi duduk bersebelahan dengan Hans yang sudah seperti pangeran berkuda yang akan mengantarnya ke istana.

“Katakan, di mana Nisha.” Pertanyaan itu muncul sesaat mobil meninggalkan area bandara.

“Haruskah kau menanyakan hal itu? Apa kau tidak ingat, berapa kali kau memberiku pertanyaan yang sama? Aku sedang lelah, dan kau tahu, sejak kemarin aku bahkan belum mandi ataupun ganti baju. Aku ... juga belum makan. Bukannya apa-apa, kau tahu, aku tidak akan memberikan informasi secara cuma-cuma,” beber Aarvi.

“Baiklah, baiklah. Aku paham tujuanmu. Tapi setelah ini, jika kau tidak memberitahuku di mana Nisha berada, aku akan membunuhmu.”

Aarvi mengundurkan badan, mengangkat kedua tangan. “Santai saja. Aku bukan orang yang suka ingkar janji.”

“Aku harap, ini akan mengulur waktu sampai Abhi bertemu Nisha. Hans adalah ancaman terbesar mereka. Apalagi, ternyata Hans bukan orang sembarangan, dia punya kuasa untuk melakukan apapun.”

***

Bunyi patient monitor memenuhi ruangan bercat putih dengan tirai-tirai biru yang menutup bagian jendela. Tak jauh dari jendela yang mulai tersiram sinar mentari, seorang pria berbaring di hospital bad dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuh.

Meskipun, kedua matanya tertutup rapat, tetapi bibirnya yang pucat sesekali bergerak, mengucap sebuah nama yang samar-samar terdengar oleh seorang perawat.  

Melihat pergerakan itu, perawat yang tengah mengecek kondisi pasiennya buru-buru keluar, menemui dokter yang bertugas.

Satya yang duduk di luar bersama Anita sontak berdiri tatkala melihat perawat yang keluar tergesa dari ruang ICU.

“Kenapa perawat itu terlihat panik? Apa terjadi sesuatu padanya, Satya?” ungkap Anita tampak cemas.

“Semoga saja tidak, Ibu,” balas Satya ketar-ketir.

Satya mempersilakan ibu mertuanya duduk kembali, agar lebih tenang.

“O iya, apa kau sudah mendapat kabar tentang keberadaan Aarvi, Nak?”

Satya menggeleng. “Masih belum, Ibu. Terakhir kali, Abhi bersama Aarvi. Sebelum Abhi kecelakaan, Aarvi sempat mengirim pesan bahwa dia menyerahkan ponselnya pada Abhi untuk membantunya menemui Nisha yang pergi dari kampung halamannya. Tapi malah sekarang, bukan hanya Nisha yang hilang, tapi Aarvi juga.”

“Sebenarnya, apa yang telah terjadi pada Aarvi? Ibu sangat mencemaskannya, Satya.”

“Tenang saja Ibu. Aku yakin, Kak Aarvi baik-baik saja. Setelah Abhi siuman, kita cari tahu apa yang sudah terjadi pada mereka.”

Anita mengangguk. “Sampai sekarang, Ibu masih bertanya-tanya, mobil siapa yang Abhi kendarai itu? Ibu tahu, itu mobil mahal, tidak mungkin Aarvi menyewakannya untuk Abhi. Atau jangan-jangan ....”

“Kita tunggu saja perkembangan dari polisi, Ibu. Aku yakin, Kak Aarvi tidak mungkin melakukan tindakan yang buruk.”

Seperti yang Satya katakan. Benar sekali, Aarvi memang baik-baik saja. Bahkan, sangat-sangat baik saat ini. Apalagi, impiannya berkunjung ke negara impiannya menjadi nyata. Memakai kurta hijau tosca lengkap dengan selendang yang menjuntai ke belakang, Aarvi tampil cantik dengan kacamata hitam yang menutupi kedua mata. Dia berjalan heboh sembari menari menghampiri Hans yan menunggu di depan sebuah butik.

Hans tersenyum melihat kelakuan Aarvi itu.

“Berapa uang yang kau rampok, ha? Aku tidak habis pikir, bagaimana kau bisa berbelanja hingga dua jam. Apa kau mengitari setiap sudut butik.”

Aarvi mengambil kartu ATM di tangannya. “Ini milikmu. Tenang saja, aku ini orang yang pemilih, aku tidak akan membeli pakaian yang mahal.”

Hans menerima kartu ATM-nya. Dia menoleh ke asisten pribadinya yang sejak tadi memayungi. “Taruh barang belanjaan Aarvi ke bagasi.”

“Baik, Tuan.”

Aarvi langsung menyerahkan barang belanjaannya pada asisten pribadi Hans. Lalu, dia beranjak masuk ke mobil karena sudah tidak kuasa menahan hawa panas.

“Apa lagi sekarang?” tanya Hans sesaat setelah masuk.

Aarvi mengetuk dagu dengan jari telunjuk, berpikir keras apa yang bisa dia perbuat untuk mengulur waktu.

“Em ... aku ingin tidur.”

“Tidur saja. Lalu, apa masalahnya?”

“Masalahnya, apa kita akan berada di mobil saja selama kita di Delhi? Mengapa kau tidak menyewa sebuah rumah atau apartemen.”

Senyum mengejek tercetak dari bibir Hans. “Menyewa? Yang benar saja, aku lebih suka membeli daripada menyewa.”

“Aku lupa, kau ‘kan orang kaya. Kau pasti anti kata menyewa.” Aarvi mengutip kata paling akhir.

“Rumah seperti apa yang kau mau?”

Aarvi memundurkan kepala. “Kenapa kau tanya aku?”

“Kau yang menginginkannya, bukan?”

Hans mengambil ponsel, menelepon seseorang yang merupakan kenalannya di Delhi untuk segera mencarikan rumah. Dalam waktu sepersekian detik, foto-foto rumah dikirimkan. Lalu, Hans memperlihatkan satu persatu foto rumah itu.

“Pilih saja,” kata Hans seusai menyerahkan ponselnya.

Aarvi melihat Hans sesaat. “Di mana letak harga diriku. Aku sudah menjatuhkan harga diriku sendiri untuk Nisha dan Abhi. Awas saja jika mereka tidak segera menikah. Lihat saja senyum Hans itu, dia pasti berpikir aku ini perempuan yang sangat matre.”

***

Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang