Part 11

11 3 0
                                    

Karena sudah tidak kuasa menahan rasa penasaran, Abhi memutuskan untuk menepikan motor. Dia turun setelah memarkirkan motor itu dengan baik. Namun, Aarvi tidak ikut turun, justru, dia menonton Abhi yang mondar-mandir tidak jelas.

Mujhe batao, Aarvi.” (Katakan padaku, Aarvi)

“Baiklah.” Aarvi akhirnya turun dari motor, menghadap Abhi. Dia menepuk pundaknya, tersenyum manis. “Apa saja yang ingin kau dengar dariku?”

“Semuanya,” tukas Abhi.

Aarvi menurunkan tangannya dari pundak Abhi, dia mendesah pasrah. “Aku belum bisa menjelaskan semuanya. Kita tidak punya banyak waktu. Kau ingin segera bertemu Nisha, bukan? Aku akan membawamu kepadanya.”

“Memangnya, Nisha ada di mana?”

“Kau akan tahu nanti. Ayo, jangan buang-buang waktu lagi.” Aarvi kembali duduk di jok motor.  Dia menepuk-nepuk jok depan, mempersilakan pria itu naik.

Abhi menyalakan motor dengan susah payah. Berkali-kali dia mencoba, tapi tetap tak mau menyala. Ternyata, motor mereka kehabisan bahan bakar. Padahal, mereka sangat buru-buru.

Aarvi merutuki diri. Dia kesal, mengapa dia tidak menghentikan Nisha waktu di masjid. Jika dia melakukan itu, pasti Abhi akan segera bertemu Nisha.

“Abhi.” Panggil Aarvi dengan suara parau. “A-aku minta maaf.”

Abhi yang hendak menutup jok motor menoleh. “Maaf untuk?”

“Sebenarnya ... Abhi.” Aarvi ragu, dia takut, Abhi akan sangat marah dengan kecerobohan yang telah dia lakukan.

“Katakan, Aarvi.”

Aarvi memilin ujung baju. “Abhi, saat kita salat di masjid tadi subuh. Sebenarnya, aku ... aku bertemu Nisha.” Abhi menyimak, ingin tahu kelanjutannya. “Ta-tapi, Nisha terlihat buru-buru dan tidak melihatku ataupun melihatmu. Dan mobil, mobil hitam yang melewati kita ketika aku marah padamu, sebenarnya itu ... itu mobil yang ditumpangi Nisha.”

Jelas sudah, dari raut wajah saja, Aarvi bisa menebak berapa presentase kekesalan Abhi akan pengakuannya.

“Kenapa kau tidak mencoba menghentikan Nisha, Aarvi? Apa kau mencoba menghalangiku bertemu Nisha, ha?”

“Ya, awalnya begitu!” Aarvi ikut kesal. Lalu, dia mengangkat  wajah. “Tapi sekarang tidak. Aku akan menepati janjiku. Aku telah kalah dalam permainan hati ini. Aku kalah, Nisha juga mencintaimu, Abhi. Bahkan, dia meminta tolong pada ayahnya untuk mengantarnya padamu dan menolak perjodohan bodoh itu. Bibi Marisa bilang, saat kau mencoba menghubungi Nisha dan tidak ada respon sama sekali. Sebenarnya, ponsel Nisha berada di tangan Hans. Karena Hans ingin mencari tahu siapa pria yang Nisha cintai. Nisha juga mengirim pesan bahwa dia akan menemuimu, tapi ponselmu.” Aarvi bahkan tak sampai hati memandang wajah Abhi.

“Dan ... Hans lah yang mengusulkan agar pernikahan mereka dilaksanakan di kampung halaman ibu Nisha. Agar Nisha tidak bisa kabur atau menemuimu. Tapi, Nisha tetap bersikeras memperjuangkan cinta dalam diamnya padamu. Ini janjiku, janji orang yang mencintaimu, aku akan mempertemukan cinta kalian yang jauh lebih besar dari cintaku.”

Aura kemarahan hilang seketika dari wajah Abhi. Justru, dia tidak bertanya-tanya, mengapa ada perempuan sebaik Aarvi.

“Bukankah, itu akan menyakitimu, Aarvi.”

Aarvi mengangkat senyum lebar-lebar. “Tentu, itu akan menyakiti hatiku.  Ketulusan cinta akan mengalahkan pengorbanan cinta itu sendiri. Tidak ada cinta yang lebih besar tanpa ada ketulusan dari sang pemiliknya. Pengorbanan saja tidaklah cukup. Aku ini hanya Pooja yang harus menyatukan cinta Anjali yang terpisah jauh dari Rahul. ”

Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang