Part 9

9 3 0
                                    

Hanya ada suara tawa jangkrik dam semilir angin yang menemani takbir. Lantunan Al-Fatihah yang diucapkan Abhi menyentuh kalbu perempuan yang menjadi makmum di shaf belakang. Tak terasa, air mata Aarvi ikut hanyut merasakan setiap huruf hijaiyah yang baru saja saja masuk ke telinga. Semenjak menjadi mualaf, baru kali ini dia diimami seorang pria, pria yang sangat dia cinta. Kebaikan apa yang telah dia perbuat, sehingga Allah mencantumkan bagian terindah di hidupnya, seperti sekarang ini.

Salat ditutup dengan salam lirih. Kemudian, Abhi menyambung dzikir dengan tasbih yang selalu berada di dalam jaketnya. Di belakang, Aarvi mengangkat kedua telapak tangan. Merapalkan doa terbaik untuk satu orang.

“Tuhanku yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkau tahu, nama siapa yang tak akan pernah hamba lewatkan dalam setiap doa hamba. Abhimanyu Khuraana. Jika dia bukan seseorang yang akan menjadi teman hidupku, setidaknya Tuhan, dengarkan aku, jadikan aku teman hidupnya. Amin.”

Karena Aarvi selesai lebih dulu, dia memilih keluar, tidak ingin menganggu waktu Abhi bermunjat kepada Allah Ta'ala. Dia duduk di tangga satu tingkat cukup lama sambil menikmati kilaun ufuk timur yang mulai  tersiram sinar mentari.

Sebuah sedan hitam memasukki area masjid. Perhatian Aarvi sontak tertuju pada sosok yang akan turun dari sedan hitam itu. Pintu belakang dibuka, sebuah kaki menjulur keluar. Perlahan, sosok perempuan dengan setelan blouse hitam panjang selutut, bawahan senada dan kerudung merah maroon nampak berjalan tergesa.

Aarvi sampai tidak berkedip mengetahui siapa perempuan yang main melewatinya. Seolah, dia tidak nampak mata. Aarvi membalikkan badan, ke Abhi yang keluar dari pintu kanan, sedangkan perempuan tadi masuk dari pintu kiri.

Hembusan napas lega menyambut kedatangan Abhi yang ikut duduk di sebelah Aarvi.

“Kau kenapa?”

Aarvi menggeleng penuh.

“Cepat ambil sepatu dan pakaianmu, kita harus segera kembali ke mobil. Kau tidak ingin terlambat sampai di rumah Nisha, bukan?”

“Hem.” Abhi mengiyakan dengan semangat.

Keduanya mengemasi pakaian, tak lupa memakai kembali sepatu yang telah berhias lumpur kering.

Karena tidak ada tumpangan lagi, terpaksa, mereka harus jalan kaki untuk sampai ke tempat mobil mogok. Semula, Aarvi memutuskan agar mereka berlari saja. Namun sekarang, dia justru yang lebih dulu ditaklukkan oleh rasa lelah.

Aarvi menurunkan sedikit punggung, menyentuh dadanya yang hampir meledak karena detak jantungnya tak beraturan. Napas Aarvi naik-turun, tak kuasa menarik udara masuk ke paru-paru.

Abhi yang sepuluh langkah di depan akhirnya berjalan mundur. Dia tidak setega itu meninggalkan Aarvi di tepi jalan.

“Ayo.” Abhi mengulurkan tangan. 

Tentu, Aarvi tidak melewatkan uluran tangan dari pria India itu. Saat tangan Aarvi melekat di telapak tangan Abhi, baterai tubuhnya seakan terisi seratus persen.

“Apakah sampai detik ini, kau tidak memiliki perasaan sedikit pun padaku, Abhi?” Kali ini, intonasi bicara perempuan itu begitu halus.

“Perasaan apa yang kau maksud?” Abhi balik bertanya. Jelas-jelas dia tahu ke mana arah pembicaraan itu.

Mohabbat.” (Cinta)

Sebuah senyuman manis yang begitu menyakitkan bagi Aarvi mencuat seiring tangan pria itu melepas cengkeraman tangannya dengan lembut.

“Aku tulus mencintaimu. Dan mungkin, cintaku lebih besar dari perempuan itu. Cintaku ... bahkan aku tidak bisa menjelaskannya padamu.”

Keduanya berhenti.

Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang