Part 12

11 3 0
                                    

Malam menjelang.

Setibanya di rumah, Hans bergegas membuka pintu, padahal, mesin mobil belum dimatikan. Dia ingin segera bertemu Nisha untuk menjelaskan semuanya sekaligus meminta maaf atas sikap posesif yang selalu membuat perempuan itu tertekan.

Aarvi mengambil kendali mobil seusai mempersilakan Abhi keluar. Dia memarkirkan mobil Hans di tempat yang tepat, tidak di tengah jalan seperti sebelumnya.

Di dalam, Hans yang berhasil mendobrak pintu rumah asal mencari keberadaan Nisha di penjuru tempat. Setelah menjelajahi lantai satu, dia naik ke lantai dua. Berharap akan menemukan Nisha di sana.

Aarvi menahan langkah Abhi tepat di teras.

“Nisha tidak ada di rumah ini. Aku memintanya pergi ke Delhi untuk sementara waktu agar Hans tidak bisa mengejarnya,” ungkap Aarvi menggunakan Bahasa Hindi. Agar, Hans yang mungkin saja tidak sengaja mendengar tidak memahami percakapan mereka.

“Delhi?”

“Hem. Bisakah kau memberikan alamat rumahmu di Delhi. Aku akan menyuruh Nisha dan ayahnya ke rumahmu. Satu lagi, aku mendapat kabar dari Satya, tas dan kopermu sudah ketemu, sekarang masih berada di kantor polisi. Lebih baik, kau pergi sekarang ke kantor polisi mengambil tas dan kopermu, lalu, kau pulanglah ke negaramu. Nisha  menunggumu di sana,” ucap Aarvi. Perempuan itu memberikan senyuman penuh harapan.

Dia memberikan kunci mobil milik Hans. “Pergilah. Aku akan menunggu kabar baik di sini. Jika ada apa-apa hubungi saja Satya.”

Abhi menggeleng pelan, dia sungguh tak mengira kebaikan yang telah Aarvi berikan padanya begitu besarnya.  

“Pergilah sebelum Hans kembali.” Lagi, Aarvi  memberikan ponsel miliknya. “Kau bisa menggunakan ponselku untuk berkomunikasi dengan Nisha, sekaligus membantumu memandu ke kantor polisi.”

“Thank you, thank you, thank you, Aarvi. Tidak ada yang dapat aku berikan untuk membalas kebaikanmu. Semoga Allah selalu menjagamu,” ujar Abhi dengan mata berkaca-kaca.

“Sudahi pidatomu. Ayo, pergilah!” Suruh Aarvi.

Abhi bergegas ke mobil Hans yang berada di depan gerbang masuk. Dia berlari menuju harapan yang telah dibuka lebar-lebar oleh Aarvi. Menggunakan Google Maps, dia melajukan mobil Hans ke kantor polisi seperti perintah Aarvi.

Sementara itu, Hans yang tak berhasil menemukan keberadaan Nisha meluapkan amarahnya dengan mengacak-acak ruang tamu. Sialnya lagi, kini dia tidak bisa keluar. Sebab, Aarvi telah mengunci pintu dari luar. Hans menggedor daun pintu.

“Hei, siapa yang berani mengunciku!” Kemudian, dia beralih ke jendela samping pintu, mencari tahu apakah Aarvi dan Abhi masih di luar. Hanya ada Aarvi yang duduk termenung di tangga teras.

“Aarvi!” pekik Hans. Tak hanya menggedor, kali ini dia menendang-nendang pintu. “Aarvi, buka pintunya! Kau benar-benar ingin mencari masalah denganku, ha?! Cepat buka atau.” Dia tak meneruskan ucapannya melihat Aarvi membuka pintu dan masuk.

“Atau apa?” Aarvi berbalik sebentar, kembali mengunci pintu. “Kau akan menyakitiku, Hans? Dengar, aku tidak peduli apa yang ingin kau lakukan padaku, sekali pun kau ingin menghabisiku, aku tidak akan mati. Karena sekarang, aku sudah mati bersama cintaku.”

Aarvi mengambil tangan Hans. “Ayo, pukul aku, jika itu bisa mengurangi amarahmu.” Dia hendak mengarahkan tangan Hans ke wajah. Namun, tangan Hans seketika menegang.

“Kau gila, aku tidak mungkin memukul perempuan tanpa sebab. Aku bukan pria pengecut seperti pria India itu. Yang bahkan, pria itu tidak bisa melihat cintamu yang begitu tulus. Mengapa ... mengapa cintamu setulus ini, Aarvi?” Hans tak habis pikir apa yang sebenarnya isi hati Aarvi hingga melepas begitu saja pria yang dicintai. Padahal, bisa saja Aarvi mencegah pertemuan Abhi dan Nisha.

Hans berbalik menarik tangan Aarvi, membuat perempuan itu berada di dalam peluknya. Tangis Aarvi langsung pecah seketikanya. Semula, Hans enggan mendekap Aarvi. Namun, mendengar suara tangis Aarvi yang tersengal-sengal dia menjadi tak kuasa.

Tanpa Aarvi sadari, Hans diam-diam mengambil kunci yang berada di kantong tas samping Aarvi. Setelah dapat, Hans melepas pelukannya pelan dan bergegas pergi ke pintu. Sayangnya, Aarvi menahan pergelangan tangannya.

“Kau bisa pergi. Tapi tanpa aku, kau tidak akan bisa menemukan keberadaan Nisha. Hanya aku yang tahu Nisha berada.”

“Beritahu aku.”

Aarvi menggeleng. “Aku akan memberi tahu, tapi bisakah kita berbicara sebentar.” Dia melihat keraguan di mata Hans. “Kali ini, aku tidak akan mempermainkanmu.”

Hans luluh.

“Ayo kita menikah saja.”

Pernyataan Aarvi tentu membuat Hans kaget bukan main.

“Aarvi, jangan gila.”

Aarvi mengangkat muka seriusnya. “Ayo kita menikah, Hans. Untuk apa kau bersikeras memperjuangkan Nisha yang tidak menginginkanmu? Pernikahan seperti apa yang akan kau jalani dengan cinta sepihak? Kau bisa saja memaksakan cintamu, tapi cinta datang untuk menerima dengan ketulusan, bukan paksaan. Itu hanya akan menyakiti Nisha dan juga dirimu.” Dia menunduk sesaat, sebelum kembali menatap Hans.

“Jika dipikir, kita berdua memiliki kisah yang sama. Sama gagalnya memperjuangkan cinta kita.”

“Kau yang gagal. Aku tidak akan gagal.” Kekeh Hans.

Aarvi mengangkat satu sudut bibirnya. “Kau akan gagal. Karena kau dan aku bukan tokoh utama di kisah ini. Mereka tokoh utamanya. Sang penulis takdir akan memenangkan cinta mereka.”

Gigi-gigi Hans bergemertak. Dia merasa tidak terima dengan pengibaratan yang Aarvi buat-buat untuk mempengaruhinya. 

“Hentikan omong kosongmu dan katakan di mana Nisha berada.”

“Baiklah. Sepertinya aku tidak gagal mempengaruhimu. Nisha ... dia pergi ke Delhi.”

“Delhi?” Bola matanya tampak terkejut. “Delhi di India?”

“Ya.”

“Lalu, pria pengecut itu ... dia akan menemui Nisha?”

“Iyap! Itu rencanaku. Bagaimana dengan rencanamu? Semuanya sudah terlambat. Abhi akan sampai di India dan bertemu Nisha besok. Kurasa, mereka akan melangsungkan pernikahan juga. So, ayo kita datang merayakan kemenangan cinta mereka, sekaligus merayakan kekalahan kita,” tukas Aarvi bangkit. Dia merunduk, mengambil dagu Hans.

“Owh, tampaknya kau sedang terbakar api emosi, Tuan. Ayo kita keluar mencari angin segar.”

Hans melepas tangan Aarvi dari dagu. Dia bangkit berdiri, mendorong Aarvi ke kursi. Tak sampai disitu, dia turut mencekik leher Aarvi yang terpojok.

“Keparat kau! Kau sudah menghancurkan semuanya, Aarvi. Kau ingin aku menghabisimu ‘kan? Akam aku lakukan!”

“Ha ... ns, le-le-lepas!”

Dengan susah payah, Aarvi melepaskan tangan Hans. Namun, pria itu sudah kesetanan dan tenaganya jauh lebih kuat. Melihat wajah perempuan yang dia cekik semakin dibayangi kematian, Hans melepas cekikannya, lalu menghempaskan punggung ke kursi dengan amarah menggebu. Sedangkan Aarvi, dia sibuk mengatur kembali urutan napasnya.

“Kau sungguh gila!” decak Aarvi. “Bisakah kau membunuhku dengan cara yang terhormat?”

“Diam!” Telunjuk Hans mengepung sikap Aarvi. Setelah mempertimbangkan segalanya, Hans telah memutuskan. Dia kembali bangkit, menarik Aarvi.

“Kau mau membawaku ke mana? Hei, lepas!”

“Diam!” Hans berbalik, menujukkan kembali telunjuknya. “Ayo kita rayakan kemenangan kita dan kekalahan cinta mereka.”

“Apa?”

***

Dekh Lena [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang