Bab 20

448 42 9
                                    

Oktober.

Dua bulan setelah kepergian Haechan dari hidup Mark.

Musim gugur membuat dunia Mark berwarna oranye kecoklatan. Daun-daun tertiup angin dan beterbangan di jalanan. Angin mulai terasa sejuk menerpa wajahnya.

Mark duduk pada bingkai jendela kamar yang pernah menjadi kamar Haechan dan ia tempati saat lelaki malaikat itu bersamanya di vila. Kamar itu masih terlihat sama bagi Mark.

Kasur yang berantakan, baju-baju Haechan yang masih ada di dalam lemarinya, beberapa obat ada di nakas, aroma Haechan masih betah melingkupi kamar ini. Bahkan ponsel lelaki malaikat itu sesekali masih berbunyi.

Selama dua bulan Mark tidak berani menyentuh barang apa pun yang berkaitan dengan Haechan. Ia membiarkan kamarnya persis seperti terakhir Haechan meninggalkannya, membuat suasana dan atmosfernya tidak pernah berubah. Seakan lelaki malaikat itu tidak pernah pergi dari kamarnya.

Selama dua bulan juga, Mark menolak untuk meninggalkan vilanya. Ia menolak pulang ke rumah orang tuanya. Mark memilih untuk selalu di vila ini, dan menunggu Haechan kembali.

Mark menatap taman belakang vilanya. Sang ayah sedang membenahi taman dan menyapu dedaunan yang berguguran, dan membantu para tupai menyiapkan kandang yang hangat untuk mereka hibernasi dalam musim dingin yang akan datang.

Mark pernah membayangkan dirinya dan Haechan yang akan melakukan hal itu. Bermain-main dengan daun-daun yang berguguran itu, bermian-main dengan para tupai yang menjadi penghuni pohon di taman belakang vilanya, menikmati angin yang menerpa wajah mereka, dan saling memeluk untuk memberikan kehangatan pada sejuknya musim gugur.

"Mark," ayah memanggilnya dari bawah. "Nak, kau bisa jatuh jika duduk terlalu lama di sana." Ujarnya dengan nada lembut.

Mark sekilas menatap sang ayah dari bingkai jendela, pria paruh baya itu menatapnya dengan sendu dan penuh harap. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum tulus untuk Mark, kerutan di sekitar matanya nampak jelas. Dada Mark terasa nyeri menyadari jika sang ayah terlihat menua dan kelelahan. Dan Mark hanya bisa duduk di tempatnya tanpa melakukan apa pun.

Mark membuang napasnya dengan pelan, ia menyesal karena hanya bisa membuat kedua orang tuanya bersedih, akan tetapi Mark tidak bisa melakukan apa pun untuk membuat keadaannya lebih baik. Bukannya Mark tidak mau, tetapi ia tidak mampu. Ia tidak bisa.

Mark akhirnya memilih untuk kembali tak menghiraukan sang ayah dan apa pun yang pria dewasa itu katakan. Ia memilih kembali menatap pepohonan yang tertiup angin, dan menghirup napasnya dalam-dalam, merasakan sejuknya cuaca sore itu. Lalu melanjutkan kembali lamunannya.

"Sayang," Mark terperanjat mendengar suara pintu yang terbuka dan diikuti oleh panggilan ibunya.

"Ibu membawakanmu camilan." Kata ibu, berjalan menghampiri putranya.

Tetapi Mark tetap bergeming di tempatnya, ia memilih untuk tak mengacuhkan sang ibu dan tetap menatap ke luar jendela.

Ibu menghela napasnya pelan, berusaha lebih bersabar dalam menghadapi putra semata wayangnya itu. Menaruh makanan yang dibawanya ke meja, ibu kemudian menangkup wajah Mark yang terasa dingin dan kurus.

Mark hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan ibunya dan merasakan lembut tangan ibu yang membelai wajahnya dengan pelan dan penuh sayang.

"Ibu tahu kau terluka, sayang. Ibu tahu kau kesakitan." Gumam ibu. Untuk sesaat tatapan mereka saling beradu. Ibu bisa melihat wajah kuyu dan kelelahan putranya, tatapan matanya yang kosong seperti kehilangan nyawanya.

Mark tercekat melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata ibunya. "Ibu juga tahu kau sangat merindukan Haechan." Mark dengan cepat memalingkan wajahnya begitu mendengar nama Haechan keluar dari mulut sang ibu, membuat tangan ibunya lepas dari wajah Mark.

My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang