Ke sekolah (Bab 7)

234 42 2
                                    

Happy reading. Baca sambil makan siang.

Pagi hari Virendra benar-benar ikut Danurdara pergi ke sekolah. Layaknya remaja sekolah pada umumnya, Virendra bangun pagi-pagi sekali, pergi mandi lalu berpakaian rapi. Tidak mengenakan seragam sekolah seperti Danurdara. Virendra hanya mengenakan kaus dan celana pendek biasa seperti semalam.

"Lho, Virendra kok tidak pakai seragam sekolah?" tanya Sekar dengan heran ketika Danurdara dan Virendra keluar dari kamar.

"Kemarin dia enggak sempat bawa baju seragam, Bu. Nanti mampir ke rumahnya bentar buat ganti seragam." Danurdara menyahut sembari berjalan ke meja makan untuk sarapan.

Virendra melempar senyum pada Sekar lalu menyusul Danurdara. Duduk dengan patuh di sebelah remaja itu.

"Kamu punya dua seragam putih abu-abu, pinjamkan dulu sama Virendra, dari pada harus pulang ke rumahnya, nanti kalian terlambat."

"Seragamku yang satu lagi masih kotor, Bu. Enggak apa-apa kok, rumahnya juga dekat sama sekolah."

Untung pagi ini Baskoro sudah pergi lebih dulu. Jika hanya ada Sekar di rumah, Danurdara lebih mudah mengelabuhi ibunya itu.

"Virendra, sarapan dulu ya, tapi cuma nasi goreng dan telur dadar. Tidak apa-apa, kan?"

Melihat teman anaknya yang dari penampilan fisiknya seperti anak orang kaya, Sekar merasa khawatir, Virendra tidak menyukai menu masakannya yang disiapkannya.

"Tidak apa-apa, Ibunda, terima kasih," kata Virendra dengan tutur kata yang terdengar halus dan lembut di telinga.

Sekar tersenyum senang. Sangat senang. Wanita paruh baya itu, berbinar bahagia setiap kali mendengar Virendra memanggilnya dengan sebutan Ibunda. Dia seolah menjelma menjadi seorang Ibu Ratu di depan remaja itu. Tidak bisa dilukiskan dengan kata, Sekar merasa terbuai setiap berbicara dengan Virendra. Bisa Sekar bayangkan, remaja di depannya ini pasti besar di lingkungan yang selalu berbicara dengan tutur kata halus dan lembut. Dia jadi membayangkan andaikan Danurdara bisa selembut ini.

"Kalau orangtuamu belum kembali dari kota, kamu bisa tinggal di sini sementara, biar kamu tidak harus masak sendiri di rumah." Sekar menuang air dalam gelas lalu disodorkannya ke depan Virendra.

Melihat itu Danurdara mengerutkan alis. Ibunya tidak pernah melakukan  itu padanya, kecuali saat dia masih kecil.

Dua remaja itu sarapan dengan nikmat. Nasi goreng habis tak bersisa di piring Danurdara. Berbeda dengan Virendra. Pemuda rupawan itu makan sangat pelan, nasi goreng di piringnya tidak kunjung habis.

"Makan yang cepat, aku harus mampir bengkel dulu buat ambil motor," kata Danurdara mulai tidak sabar menunggu Pangeran Virendra makan.

"Tapi aku tidak bisa makan dengan cepat, aku harus menikmati setiap makanan yang aku makan."

"Nanti aku bisa telat masuk sekolah."

Pangeran Virendra tidak menyahut lagi. Sebisa mungkin dia menghabiskan makanannya dengan segera. Dia tidak mau membuat orang yang memberinya tempat tinggal marah. Disuapkannya semua nasi goreng ke dalam mulut tanpa jeda. Membuat mulutnya penuh dan tersedak.

"Makan pelan-pelan." Danurdara mengulurkan segelas air putih pada Virendra.

"Kau bilang, aku harus makan dengan cepat."

"Ya, tapi enggak gini juga. Cepat, tapi jangan terlalu tergesa-gesa juga." Membersihkan sisa nasi goreng di sudut bibir Virendra dengan jari telunjuknya.

Kedua mata Virendra mengerjap polos. Ia memandangi Danurdara untuk sejenak. Ditatap seperti itu Danurdara buang muka dan berdehem sekali. Ia lantas bangkit berdiri, mengenakan tas ransel di kedua bahunya.

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang