Kau tidak percaya? (Bab 6)

250 44 3
                                    

Selesai mandi Danurdara meminjamkan pakaiannya untuk Virendra. Kaus longgar dan celana pendek biasa. Meskipun sebenarnya usia mereka tidak jauh berbeda, tapi perbedaan ukuran tubuh mereka membuat baju yang Virendra kenakan kebesaran. Tubuhnya yang ramping tenggelam dalam balutan kaus warna putih milik Danurdara yang ia kenakan.

"Enggak apa-apa, deh. Buat sementara, nanti aku tanya sama Ibu, masih menyimpan baju lama yang muat buat kamu apa gak," kata Danurdara sebelum mereka keluar kamar.

Virendra tidak protes. Pemuda tampan menawan titisan Dewa itu menerima apa saja yang Danurdara berikan. Saat ini hanya Danurdara yang ia kenal di Mancapada ini. Jadi Virendra tidak bisa memilih. Mulai sekarang ia harus menyesuaikan diri hidup seperti manusia pada umumnya, mengikuti kebiasaan manusia. Termasuk soal pakaian dan makanan.

Virendra mengikuti Danurdara, ia berjalan di belakang pemuda itu
bergabung di meja makan bersama ke dua orangtua Danurdara.

"Sini, duduk sini," kata Sekar dengan senyum semeringah ketika melihat Danurdara dan Virendra datang ke ruang makan.

Wanita itu begitu semangat menyiapkan piring, menyiduk satu centong nasi, juga sayur serta lauk sederhana ke atas piring untuk Pangeran Virendra.

Danurdara melirik ibunya dengan heran. Sejak kelas 4 SD ibunya sudah tidak pernah melakukan hal seperti itu untuknya. Namun, untuk seseorang yang baru dikenalnya, ibunya tanpa ragu melayani.

"Sudah kelas 4 SD, sudah besar harus bisa ambil makan sendiri." Begitu kata Sekar saat Danurdara kelas 4 SD dulu.

Danurdara sedikit cemburu.

"Makan yang banyak, ya. Anggap rumah sendiri, tapi ya begini, cuma lauk seadanya."

"Tidak apa-apa, Ibunda. Yang penting bisa makan dengan kenyang."
Virendra menjawab dengan suara lemah lembut, tatapannya teduh dan senyum manis dari bibirnya yang belah merekah.

Wajah rupawan itu semakin membuat Sekar yang menyukai keindahan, meleleh, terpukau. Tidak hanya wajahnya yang tampan, anak muda di depannya ini juga bertutur kata halus, suaranya merdu mendayu-dayu di gendang telinga. Sangat berbeda dengan Danurdara, yang terkadang bicara dengan nada tinggi jika menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Belum lagi suaminya. Suaminya juga sering marah-marah dan berteriak. Ah, dua laki-laki di dalam rumah ini tidak ada yang lemah lembut seperti pemuda ini. Dan apa tadi? Ibunda? Sekar tersipu malu mendengar panggilan itu.

"Ehem ...." Bagaskoro berdehem.

Semua mata memandang ke arah laki-laki berkumis tebal dan berbadan tegap itu.

"Siapa namamu?" Mata tajam Bagaskoro memandangi Virendra.

Sebelum menjawab Virendra mengulas senyum. "Namaku Virendra Paramayoga."

"Siapa nama orangtuamu? Siapa tahu aku mengenalnya."

Virendra terdiam, melirik sekilas Danurdara yang duduk di sebelahnya. Sejenak Pangeran Virendra tampak kebingungan.

"Dia anak Pak Agus, itu orang baru yang dekat sekolahanku," sahut Danurdara ketika menyadari wajah gelisah Virendra. Ia terpaksa mengarang cerita. Supaya bapaknya tidak curiga tentang asal usul
Virendra. Bapaknya pasti akan murka jika tahu ia membawa pulang orang asing yang tidak jelas anak siapa dan dari mana.

"Pak Agus?" Bagaskoro mengerutkan alisnya. Mengingat-ingat nama itu. Hingga hampir satu menit ia masih tidak bisa mengingat nama Agus di sekitar sekolah Danurdara.

"Bapak tidak kenal, Pak Agus itu orang baru." Seolah tahu apa yang dipikirkan bapaknya, Danurdara cepat-cepat menimpali cari alasan.

"Hm ... bisa jadi." Baskoro lantas menunduk, lanjut menyantap makanan di atas piringnya.

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang